13. How About Anera?

9.2K 1.7K 89
                                    

Seperti tenggelam di laut dalam yang gelap. Sesak dan tak terlihat apapun. Bahkan bernapas pun tidak bisa. Setiap membuka mulut hanya gerombolan air yang masuk bukan oksigen. Persis seperti itulah yang dirasakan Aleanom saat ini. Ia memegangi lehernya yang seperti tercekik. Batuk tak kunjung terhenti dan udara di sekitarnya menipis.

Banyu berdiri di samping Aleanom. Berusaha mengajak Aleanom bicara. Namun suara Banyu tidak sampai di telinga Aleanom. Aleanom tidak menjawab perkataan Banyu. Ia hanya menatap Banyu dengan mata memerah dan berair.

"Ale jangan memaksakan diri. Jika kamu masih tidak bisa menanganinya minum obat ini." Banyu menyodorkan obat penenang dan gelas berisi air putih.

Aleanom tidak punya pilihan. Ia merebut obat dan gelas dari tangan Banyu. Baru setelah itu ia bisa lebih tenang, bisa mengendalikan dirinya kembali. Ia letakan gelas di atas meja.

Banyu menghela napas. Ia duduk di kursinya, berhadapan dengan Aleanom. Kedua tangannya bertautan di atas meja. Ia tatap Aleanom dalam diam. Mengamati Aleanom yang sedang mengelap mulutnya dengan lengan jaket.

"Apa?" tanya Aleanom. Risih terus diperhatikan oleh Banyu.

"Sudah berapa lama kamu nggak tidur?" tanya Banyu menebak.

"Seminggu." Aleanom memalingkan wajah ketika Banyu memijit pelipisnya.

"Dan kamu nggak mendatangi saya untuk konsultasi?"

"Saya juga sibuk sebagai murid yang teladan dan rajin." ujar Aleanom datar.

Banyu terkekeh. "Kamu....apa mimpi kamu semakin buruk?" tanya Banyu serius.

Aleanom tak langsung menjawab. Ia mengetuk meja dengan telunjuk. "Ya. Semakin buruk. Seolah saya tidak sedang bermimpi, melainkan kembali ke kejadian itu."

Banyu menghela napas. Ia buka buku catatannya. "Itu kenapa saat kita melakukan hipnoterapis, kamu tidak bisa mengendalikan diri kamu. Trauma yang kamu alami masih menguasai kamu."

Aleanom memijit keningnya. "Saya tau." katanya pasrah. "Dokter naikin aja dosis obatnya."

"Saya nggak bisa. Kamu masih muda untuk minum dosis tinggi. Coba kamu cari hal-hal yang buat kamu have fun. Olahraga atau jalan-jalan. Jangan terpaku sama masa lalu."

Aleanom mengambil pulpen yang ada di dalam kotak kayu. Memainkannya bagai stik drum yang bisa diputar. "Bukannya terpaku. Tapi apapun yang saya lakukan. Saya akan mengingatnya. Begitu lah cara kerja trauma menghantui saya."

"Ibu dan ayah kamu tau soal ini?"

"Saya akan mentraktir steak kalo dokter merahasiakannya."

Banyu berhenti menulis, kepala dan ujung bibirnya miring ke samping, mengambil napas dalam-dalam. "Ale kamu nggak bisa seperti ini." Banyu tidak setuju dengan kesepakatan yang Aleanom ajukan.

"Dokter tau apa yang paling menyakitkan? Bukan saat tulang kaki saya dipatahkan, bukan saat besi panas menempel di punggung saya, bukan juga saat melihat kematian orang lain di depan saya." Aleanom menaruh pulpen yang ia mainkan di atas meja. "Yang menyakitkan adalah melihat bunda, ayah dan Erika menangis menyalahkan diri mereka atas apa yang terjadi pada saya."

"Ale..." Banyu menatap ibah Aleanom.

"Ini bukan salah mereka. Tapi mereka terus meminta maaf."

"Baik saya mengerti." Banyu kalah berdebat dengan Aleanom. Ia memang sudah janji dengan Nadhen akan selalu lapor perkembangan Aleanom. Namun alasan Aleanom untuk menyembunyikannya dari Nadhen juga patut untuk dipertimbangkan.

"Makasih dok."

"Soal cewek yang akhir-akhir ini kamu ceritakan....Anera." Banyu mengingat-ingat nama yang diceritakan Aleanom.

ANERA : How To Make Her Stay Alive? (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang