Erika mengenal Aleanom sejak kecil. Sejak TK. Kebetulan juga rumah mereka berdekatan. Erika sudah mengenal dekat keluarga Aleanom, begitu pun Aleanom yang dekat dengan keluarga Erika. Oleh karena itu Erika sangat dekat dengan Aleanom. Kedekatan mereka juga sering disalahpahami oleh penggemar-penggemar Aleanom.
"Kamu belum berangkat sekolah?" tanya Dinda, ibunda dari Erika.
Erika yang semula memperhatikan photo di pangkuannya menoleh ke samping. "Iya bu. Bentar lagi ini mau berangkat."
"Bareng Ale?"
"Iya."
Dinda berdiri di samping Erika, ikut memperhatikan photo yang sedang di pegang Erika. "Itu waktu kalian masih SD." Dinda mengelus kepala Erika, tersenyum melihat photo Erika bersama Aleanom.
Erika tersenyum melihat dirinya dan Aleanom di photo. Aleanom yang dulu sangat lucu, cerewet dan mudah tertawa. Bahkan di photo itu pun Aleanom tersenyum lebar. Sangat manis. Berbeda dengan Aleanom yang sekarang dikenalnya.
Erika mencengkram erat bingkai photo. Raut wajah Erika berubah murung. "Ale.....Ale pasti sembuh kan bu?" Erika menundukkan kepala.
Dinda menatap sedih Erika. Ia tahu betapa sedih Erika. Bukan hanya Aleanom yang berubah setelah kejadian itu. Erika, orang yang paling dekat dengan Aleanom pun juga berubah. Erika jadi orang yang mudah cemas, sering sedih dan bisa menangis tiba-tiba. Erika selalu berpikir berlebihan kalau menyangkut Aleanom. Menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi dengan Aleanom.
"Erika. Ini bukan salah kamu." Dinda meraup kedua pipi Erika agar Erika menatapnya.
"Tapi.....kalo seandainya Ale nggak nyari Erika....Ale nggak mungkin...." air mata Erika terjatuh membasahi pipinya. Rasa bersalah yang ada di hati Erika membuatnya mudah menangis kalau soal Aleanom.
Dinda memeluk Erika. Dinda bukan hanya merasa cemas dengan Aleanom. Ia juga mencemaskan psikis Erika yang berubah-ubah. "Bukan salah kamu. Ale nggak akan senang kalo kamu nyalahin diri kamu." Dinda mengelus kepala Erika. "Ale juga sedang ikut terapi. Doakan kesembuhannya."
"Iya bu." Erika memeluk erat Dinda.
Dinda memegang kedua pundak Erika. Mengelap pipi putrinya. "Sudah jangan nangis. Berangkat gih. Ale pasti udah nunggu di depan."
"Iya."
Erika berjalan keluar rumah. Masih mengusap pipinya agar tak meninggalkan jejak air mata. Erika menegakkan kepalanya saat melihat Aleanom sudah ada di depan pagar rumah, bertengger di motornya.
"Udah nunggu lama Le? Biasanya juga masih selonjoran di sofa kalo nggak gua samperin." Erika berdiri di depan Aleanom, memamerkan senyuman lebar.
Aleanom tak menjawab. Lebih memilih memperhatikan wajah Erika yang menurutnya ada yang aneh. Aleanom menekan pipi Erika dengan telunjuknya. "Nangis lagi." kata Aleanom datar.
"Nggak!" Erika memutar badan, membelakangi Aleanom. "Gua nggak nangis." Erika sibuk mengusap matanya.
Aleanom memperhatikan gelagat Erika. Meskipun ia tidak mengerti soal perasaan orang lain. Tapi setidaknya Aleanom sadar kalau Erika habis menangis. Aleanom juga tahu alasan Erika menangis, pasti karena dirinya.
Erika menjadi cengeng sejak kejadian itu, terus menangis dan merasa bersalah. Padahal Aleanom tidak mempersalahkannya. Bagi Aleanom kesalahan itu bukan salah Erika, bukan salah dirinya juga. Semuanya salah mereka. Salah orang-orang jahat yang membuat Aleanom trauma sampai mengidap Alexithymia. Orang-orang jahat itu merenggut emosi Aleanom, membuat Aleanom sering bermimpi buruk setiap malam.
"Muka lo jadi jelek kalo nangis." kata Aleanom, sudah naik ke atas motor.
"Enak aja!" Erika memukul lengan Aleanom.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANERA : How To Make Her Stay Alive? (TAMAT)
Ficção Adolescente⚡WARNING : CERITA MENGANDUNG SELF INJURY . TOLONG BIJAK DALAM MEMBACA. TIDAK DIHARAPKAN MENGIKUTI ADEGAN BERBAHAYA DI DALAM CERITA⚡ *Mulai 9 September 2020 *Selesai 11 maret 2021 Rank 1 in #depresi tgl 27/11-2020 Rank 5 in #school tgl 13/11-2020 Di...