Part 61

246 15 0
                                    


-Author POV-

Kabut yang dulu mengaburkan pandangan itu kini membutakan. Menumpulkan penglihatan.

Menghantamnya dengan kenyataan bahwa ia harus merelakan. Dan meninggalkan serpihan hatinya menjadi kenangan.

Wanita itu turun ke dapur dan membuka rak makanannya.

Mencari-cari apa yang ia butuhkan untuk bisa tetap terjaga dan melanjutkan persiapan bukti perkara kliennya yang naik banding esok hari. Akhirnya, ia menemukan yang dicarinya, kotak kardus kopi karamelnya, yang ternyata kosong.

Wanita itu menghela napas, ia yakin, kemarin malam masih tersisa satu bungkus kopi caramel di kotak ini. siapa yang mengambilnya?

Pembantunya? Yang anti dengan segala jenis kafein yang katanya bisa membuat umurnya memendek? Tidak mungkin, suaminya? Yang jelas-jelas lebih menyukai kopi hitam? Tidak mungkin. Kalau bukan
mereka, berarti.. wanita itu membuang kotak kosong di tangannya, keluar dari dapur, melewati ruang tamu dan menaiki tangga menuju kamar anak semata wayangnya.

Ia mulai mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. mana mungkin anaknya sudah tidur di jam segini? Ia mengetuk lebih keras, dan akhirnya memutuskan untuk membuka kenop pintu di depannya.

Wanita itu mengerutkan kening, tidak terlihat tanda kehidupan di sini. Tapi, ia mengedarkan pandangan dan melihat pintu menuju balkon terbuka. Ia melangkah pelan menuju balkon. Dan melihat anak lelaki semata wayangnya duduk memunggunginya, serius memperhatikan ponsel, menghela napas setelahnya
lalu meletakkan ponsel itu di meja balkon yang terletak di antara tempatnya duduk dan satu bangku lainnya.

Wanita itu melihat lebih jauh. Lalu menemukan cangkir yang terletak di dekat ponsel anaknya tadi. dia tahu aroma isi cangkir itu, kopi caramel. Wanita itu tersenyum kecil sambil menggeleng, lalu bersandar pada kusen pintu balkon dan bersedekap.

“Chanwoo-ah?”

Chanwoo tersentak, lalu menoleh ke belakang, terkejut mendapati siapa yang berdiri di sana. “Eomma?”

Ibunya tersenyum kecil. Membatin dalam hati apakah anaknya ini sedang melewati masa transisi remaja
atau apa, sehingga akhir-akhir ini bertingkah seperti orang linglung.

“Sejak kapan kamu minum kopi?” tanya ibunya, lalu berjalan dan duduk di bangku satunya, yang kosong.

Chanwoo hanya mengangkat bahu.

“Chanwoo, jangan sampai eonna tau kamu pakai…”

Chanwoo menatap ibunya sedikit kesal. “Ya ampun, eomma.. percayalah. Aku tidak pakai obat atau apa pun yang eomma pikirkan.”

“You acting weird, lately.. you know?” kata ibunya.

Chanwoo menatap ke depan lagi. melamun menatap langit di atasnya. Menghela napas pelan.

“Eomma…” ucapnya pelan.

“Hmm?” tanya ibunya, yang memutuskan meneguk kopi caramel Chanwoo yang tergelatak di meja, daripada dia tidak minum kopi itu sama sekali.

“Pernah tidak… eomma tidak mendapat sesuatu yang eomma inginkan?” tanya pemuda itu.

Ibunya mengerutkan kening.

“Maksudnya?”

“Eomma terlanjur sayang, bukan sekedar ingin, pada sesuatu… tapi ternyata sesuatu itu bukan untuk
eomma,” ujar Chanwoo setengah melamun.

Ibunya mulai mendapatkan maksud Chanwoo dan mulai menyadari kenapa Chanwoo sering bertingkah aneh akhir-akhir ini. anak lelakinya ini sedang jatuh cinta.

“Oh, jadi ini masalah perempuan? You are in love, aren’t you?” ibunya tersenyum lebar.

“Eomma…” chanwoo memutar bola mata.

Ibunya tersenyum kecil, lalu bangkit dari duduknya, mengusap sayang kepala anak lelakinya yang beranjak dewasa.

Chanwoo menatap ibunya yang sekarang sedang berdiri di depan balkon. “Tidak semua yang kamu inginkan akan kamu dapatkan, Chanwoo-ah. Sekalipun saat kamu sudah memiliki semua hal lain di dunia ini kecuali dia.”

Seekor capung terbang melintas malam, lalu hinggap di pinggir balkon, tempat ibunya berdiri.

“Kadang dia sudah sedekat ini,” ibunya menjengkal jaraknya dengan capung itu.

“Dan kamu terlalu egois, merasa kamu akan mendapatkannya..” ibunya mengendap-endap lalu berusaha menangkap capung itu, yang kini terbang ke langit-langit, menyadari adanya bahaya.

Ibunya berbalik, memandang Chanwoo lalu mengangkat bahu. “Tapi ternyata dia terbang menjauh…”

“Tapi… ssst…” ibunya berbalik lagi, lalu meletakkan salah satu siku tangannya di pinggir balkon, mengacungkan satu telunjuknya ke atas.

Chanwoo mengerutkan kening. Lalu baru menyadari apa yang
terjadi, tak lama capung itu hinggap di telunjuk ibunya.

Ibunya menoleh ke belakang, berbisik pelan, “Pada saat yang tepat, dia akan datang sendiri menghampirimu… dan kamu…” ibunya menangkap capung di telunjuknya dengan tangan yang lain.

Berjalan pelan ke arah Chanwoo lalu menyusupkan capung itu ke tangan anaknya.

“… akan mendapatkannya…” ibunya meneruskan kata-katanya, lalu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jail.

Chanwoo menatap capung yang kini merontak minta dilepaskan di tangannya, lalu menyadari ibunya
sudah berjalan menuju pintu kamarnya.

“Eomma?”

Ibunya menoleh pelan. “Ya?”

“Thanks.” Chanwoo tersenyum manis.

Ibunya membalas senyum Chanwoo. “Anytime..”

Chanwoo kembali memperhatikan capung di tangannya.

Menyadari perumpamaan ibunya. Ibunya mengerti. Capung itu bukan menggambarkan Tzuyu, melainkan menggambarkan perasaannya pada Tzuyu.

Chanwoo kembali membuka pesan yang tadi dibacanya sebelum ibunya datang.

Chanwoo-ah, aku sudah menemukan badai itu. bantu aku untuk menguraikan padanya, ya? Karena… dia tampaknya terisap badai yang sama

Sender: Tzuyu

Chanwoo merenung. Bukankah ini sebenarnya tujuan rencananya selama ini? rencana yang sudah dibuatnya, bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Dia tidak pernah hadir untuk menjadi rival Mingyu, tapi untuk membnatu Tzuyu memecahkan teka-tekinya. Walaupun ia berarti membantu tzuyu
menjaring badai bersama Mingyu.

Chanwoo melepaskan capung di tangannya. Membiarkan hewan itu terbang ke langitnya sendiri.

***

“Jadi?”

Tzuyu memutar bola mata dan tersenyum. “Kamu kan sudah tahu.”

Chanwoo tersenyum, menstater dan melajukan mobilnya melewati gerbang hitam menjulang yang mengerikan itu. “Well, aku kan tidka tau detailnya.”

“Harus kah?” kata Tzuyu, setengah tertawa.

Pemuda itu mengangkat bahu dan tersenyum. “Hei, seems like youre in a very good mood today.. you keep smiling.. pengaruh kesuksesan teka-teki terpecahkan?”

Tzuyu mencubit lengan Chanwoo. “Jangan begitu. aku sedang malu.”

“Kenapa malu?”

Tzuyu tertawa kecil, pipinya bersemu merah. “Karen tadi pagi aku bertemu dia, terus…”

“Terus?”

“Terus dia menatapku dan bilang selamat pagi…”

Chanwoo menggeleng-geleng, padahal dalam hati meringis juga. Ya sudahlah, batinya, yang penting dia bahagia… chanwoo membiarkan Tzuyu berceloteh riang tentang kejadian malam itu. setiap kata yang diucapkan Tzuyu mengirisnya. Ternyata, merelakan bukan berarti lantas terbebas dari rasa sakit hati.

“Dia mengobati aku, seorang Mingyu, mengobati orang… terus dia keceplosan bilang kalau dia..”

“Kalau dia? Kamu kenapa jadi suka menggantung kalimat?”

Wajah Tzuyu bersemu lagi. “Kalau dia sayang sama aku…”
gadis itu benar-benar mabuk kepayang.

Kejujuran Mingyu malam itu membuatnya tidak bisa memikirkan apa-apa selain pemuda itu, bahkan tidak ancaman Yeri.

Chanwoo mengangguk pelan. Keceplosan ya, betapa dia berharap bisa keceplosan juga saat ini. “Terus maksud kamu dengan pesan kemarin? Kamu mau aku bantu menguraikan apa? Jawaban esai?”

Tzuyu menatap pemuda di sebelahnya dan melotot lucu.

“Kamu ini, itu hanya perumpamaan, dasar
tidak bisa menebak perumpamaan."

Chanwoo hanya tersenyum
“Dia.. dia tidak minta jawaban, tapi aku mau dia tau perasaanku juga… aku tidak mau menyesal suatu hari nanti, Karena tidak pernah bilang…”

Jawaban yang cukup telak untuk Chanwoo. Seperti menyindirnya.

“Kapan?”

Tzuyu mengerucurkan bibirnya, untuk itu ia juga belum memikirkannya.

Chanwoo mendesah. “Tapi nanti pulang aku masih bisa jemput kamu, kan?”

Dan betapa leganya ia ketika Tzuyu mengangguk. Paling tidak gadis itu masih bisa ada di dekatnya untuk
kali ini.

TBC

F4 REBORN✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang