32. Obrolan Menjelang Fajar

573 81 4
                                    

3k words
Tap tombol vote! Ramaikan kolom komentar yaa ❤

***

Mendapat kabar secara mendadak bahwa ternyata jadwal perkuliahan tidak ada, bagiku sekarang sudah biasa. Jika dulu aku tentu merasa sangat dongkol ketika mendapati kelas kosong, setelah baru mengecek room chat group kelas yang ternyata kuketahui bahwa dosen pengajar memiliki agenda lain yang berimbas tak dapat memberikan perkuliahan. Tak memungkiri hal itu tentu membuat mood jatuh terjun bebas. Apalagi jika jam mata kuliah berikutnya baru ada lagi setelah ishoma.

Hari ini, lagi lagi kelas kosong. Waktu longgar yang ada kumanfaatkan untuk mengecek proposal kegiatan yang masih tertahan di pihak BEM untuk mendapatkan stempel resminya. Harusnya aku sudah menargetkan bahwasanya hari ini proposal tersebut sudah harus arsip. Namun, entah mengapa sampai sekarang masih berkutat di sana.

Aku terpaksa ke gedung baru fakultasku, dibagian lantai 1 nya sendirian. Kia masih harus take pengambilan gambar untuk tugas kelompok video, sehingga membuatku terpaksa sendirian. Aku tak sabar jika harus menunggunya, sebab aku sudah terlalu sering menerima teror dari ketua pelaksana kegiatannya agar segera mengarsipkan proposal tersebut.

Aku menyusuri lobby hingga sampai di depan grima BEM yang bertempat di ujung bagian sayap kanan gedung. Aku segera bergerak ke arah rak tumpukan beberapa proposal disana. Suasana disini sedang sepi, mungkin karena kebetulan sekarang adalah jam kuliah. Juga kulihat dari luar tak ada sepatu yang ada di rak depan grima, hal ini berarti memang didalam grima BEM sedang tak ada orang. Dengan teliti aku mencoba mencari keberadaan proposal kegiatanku diantara banyak proposal yang ada tanpa memperdulikan sekitar.

Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana. Aku merasa, tak nyaman sekarang. Hal tersebut membuatku berusaha secepat mungkin agar segera menemukan proposal milikku. Karena jujur, aku takut sekarang. Disini sepi, dan aku sama sekali tak berkeinginan bertatap muka dengan sosok yang memiliki dimensi yang berbeda denganku.

Ujung telingaku mampu menangkap suara seseorang yang tengah membuka pintu. Hal itu semakin membuatku gemetar takut, ingin cepat cepat berlari. Ujung ekorku berusaha melirik ke arah pintu grima yang knopnya terlihat bergerak lambat.

Dan hasil dari ketakutanku, beberapa proposal ditanganku ambyar. Jatuh berserakan, membuatku ingin menangis sekarang. Aku lemas seketika dan memilih menutup muka ku dengan kedua telapak tanganku.

"Pril, ngapain?"

Merasa aku mengenal suara tersebut, maka aku memberanikan diri untuk menengok serta mengintip dari celah jari jari tanganku. Seketika rasanya ususku seperti ingin melorot saja saat menangkap sosok Andra tengah berdiri ditengah pintu Grima. Astaga! Aku malu sekali. Apalagi jika bukan melihat posisiku sekarang yang tengah berjongkok sambil menutupi wajahku diantara beberapa proposal yang terletak berserakan dilantai.

"Pril, kamu baik baik aja kan?"

Itu benar Andra. Tapi aku masih malu untuk memperlihatkan wajahku menghadapnya.

Akhirnya mau tak mau aku membuka telapak tanganku yang sedari tadi menutupi wajahku. "Aku gapapa." Setelah mengatakannya aku segera memungut beberapa proposal yang tadi terjatuh akibat ulahku dan kembali melanjutkan mencari proposal milikku cepat cepat.

"Cari ini?"

Aku menoleh saat Andra menyerahkan proposal yang sedari tadi kucari namun tak kunjung kutemukan. "Astaga, iya Andra. Makasih ya." Aku segera mengambilnya dan mengeceknya. Bahuku kembali luruh saat aku belum menemukan stempel BEM tertera disana.

"Perlu bantuan?"

"Mau nanya deh, Ndra. Ini emang kalau minta stempel BEM harus nunggu berapa lama sih. Aku udah naruh ini disini hampir seminggu kalau gak salah, tapi belum juga dapet stempelnya." Keluhku, aku hanya malas mendapat spam chat omelan lagi.

Can I've Your Heart? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang