Apa yang penting dalam sebuah hubungan?
Kepercayaan?
Atau
Kesetiaan?
Yang paling penting dalam sebuah hubungan yang dilandasi cinta adalah sebuah restu orang tua. Boleh saling percaya dan setia, tapi tanpa restu orang tua? Apakah akan berjalan mu...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Saat takdir sudah ditentukan sejak lahir, manusia hanya bisa menerima. Beberapa takdir tidak akan bisa diubah, tapi bisa diperindah.
_______________________
"Alita."
Merasa dipanggil, gadis dengan rambut sebahu dan memakai kacamata menoleh, "Iya?"
"Kamu mau memilih kerja di mana?" tanya wanita yang memanggil Alita tadi saat sudah berada di hadapannya.
"Aku enggak kerja, Mif. Aku mau mengabdi dulu," jawab Alita pada gadis itu--Mifta.
"Mengabdi? Maksudnya?" tanya Mifta tidak mengerti.
Alita menarik tangan Mifta untuk duduk di bawah pohon di taman kampusnya. "Cari tempat duduk dulu, nanti baru di lanjut," ucap Alita.
Saat merasa tempatnya sudah sesuai, Alita meletakkan buku yang dibawanya. "Aku mau mengabdi untuk masyarakat di desa, Mif. Enggak lama, mungkin hanya tiga bulan." Alita menjawab dengan senyum mengembang.
"Kamu kuliah lama loh, Ta. Dan sekarang mau mengabdi dan enggak kerja." Mifta menatap Alita heran.
"Tujuan aku masuk jurusan ini untuk itu, Mif. Aku enggak merasa rugi kalau enggak langsung kerja. Lagian ini mimpi aku," Alita menjawab dengan senyum yang tak kunjung pudar.
"Kamu mau cari apa si, Ta? Terus mau di desa mana?"
"Aku mau cari kepuasan aku, Mif. Apa gunanya sebuah ilmu kalau enggak digunakan untuk menolong orang lain. Karena itu aku memilih di desa yang cukup jauh dari kota." jawaban Alita membuat Mifta kaget. Jauh dari kota, yang benar saja.
"Serius kamu, Ta? Oke kalau mau mengabdi, tapi enggak harus di desa yang jauh dari kota kan? Yang dekat-dekat sini saja lah." Mifta menatap Alita sebal, sedangkan yang ditatap tidak merasa bersalah.
"Aku sengaja mencari yang jauh dari kota, Mif. Di sana nanti aku akan benar-benar dibutuhkan. Kasihan masyarakat yang jauh dari kota, aksesnya lumayan sulit, pasti kalau sakit hanya memakai obat herbal saja," jawab Alita dengan raut sedih.
"Orang tua kamu memang memperbolehkan? Pasti enggak kan. Secara kamu anak satu-satunya, " ucap Mifta yakin, karena sejauh ini orang tua Alita sangat sulit memberi izin, meski hanya keluar sebentar.
"Orang tua aku enggak masalah, justru mendukung. Mereka juga yang akan mengirimkan aku obat-obatan dan apa yang diperlukan di sana. Karena mereka tahu ini impian aku sejak kecil, Mif." Alita tersenyum senang saat mengingat wajah orang tuanya yang mendukung penuh dirinya.
"Kamu tuh ya, ada-ada saja si. Ya sudah lah, orang tua kamu juga mendukung. Masa aku yang cuma orang lain menghalangi," ucap Mifta sendu.
"Kamu bukan orang lain, Mif. Kamu sahabat aku. Nanti kan tetap bisa saling tukar kabar. Kaya aku mau nikah sama orang sana saja," ucap Alita diselingi tawa kecil saat memeluk sahabatnya itu.
"Bisa saja kan, Ta. Kamu kecantol laki-laki desa. Laki-laki desa kan tidak aneh-aneh macam laki-laki di kota." Mereka berdua tertawa, karena bagi mereka laki-laki kota itu banyak minusnya.
***
"Mas, pulang sudah siang," ucap gadis kecil yang baru saja datang.
"Sebentar lagi, Dek. Nanggung ini, " jawab laki-laki yang di panggil Mas oleh gadis kecil itu yang tengah membungkuk di tengah sawah.
"Udah, Mas. Ibu sudah menyuruh Mas pulang sekarang. Sudah mau zuhur juga." Gadis itu mendekati kakaknya dan melihat lebih dekat apa yang sedang kakaknya kerjakan.
"Kamu kalau menyuruh Mas pulang cepat, ayo bantu, Mayang. Jangan kamu diam dan melihat saja."
Mayang--gadis kecil itu, tertawa mendengar ocehan kakaknya. Baginya melihat ekspresi kakaknya saat menegur dirinya amat lucu.
"Iya, Mas. Ini lo Mayang bantu," ucap Mayang lalu membantu mencari keong mas yang ada di sawah milik keluarganya.
"Mas Tama," panggil Mayang.
"Iya, Mayang. Kenapa?" ucap Tama.
"Kenapa Mas mau jadi petani si? Kan Mas bisa kuliah di kota atau enggak kerja," tanya Mayang pada Tama.
"Kalau Mas kuliah atau kerja di kota siapa yang akan merawat sawah? Lalu biaya sekolah kamu dan Danu dari mana?" Tama menjawab tanpa menoleh pada adiknya, "bapak sudah tua, sudah waktunya istirahat. Enggak kerja banting tulang lagi, biar Mas yang menggantikan."
"Mas, enggak ingin jadi sarjana terus jadi orang kaya? Kalau kaya kan lebih enak membiayai aku dan Mas Danu," tanya Mayang penasaran.
"Mas sebenernya ya mau kalau menyandang gelar sarjana, tapi jadi petani juga enggak ada salahnya. Toh petani pekerjaan yang halal dan enggak merugikan orang lain. Mas bangga jadi petani," jelas Tama pada Mayang.
"Tapi kan sawah bapak enggak seberapa, Mas. Mas, enggak ingin tah jadi orang kaya agar hidup kita enak. Mau apa-apa enggak nunggu panen dan enggak harus banyak mikir," ucap Mayang.
"Bersyukur, Mayang. Sawah yang enggak seberapa ini yang sudah memberi makan keluarga kita. Kalau dirawat dengan baik hasilnya juga akan memuaskan. Ngomong soal kekayaan, Mas mau jadi orang yang sederhana saja. Meski sederhana asal bisa membantu sesama," ucap Tama.
"Kok milih sederhana, mending kaya lah, Mas." Mayang terus saja mengotot, baginya hidup akan lebih nikmat bila menjadi orang kaya.
Tama tersenyum, "Jadi orang harus pandai bersyukur. Kamu mau beli apa kalau jadi orang kaya, Mayang? Kalau kamu kaya, kamu akan selalu merasa kurang dan lupa melihat ke bawah."
"Kalau Mayang kaya, Mayang beli tas bagus, buku-buku bacaan, seragam baru, terus buat beli obat ibu, Mas." Mayang menjawab dengan polos, sementara Tama merasa sedih. Harusnya sebagai anak pertama dirinya mampu mencukupi keluarga dan mampu menuruti apa yang diinginkan sang adik.
"Harta tidak dibawa mati. Yang dibawa mati hanya amal ibadah, pakaian pun hanya kain kafan, bukan baju mewah. Kalau kamu mau berhasil, ya belajar yang benar. Mas janji, hasil panen ini nanti sisanya buat beli seragam kamu," ucap Tama disambut senyum bahagia Mayang. Karena seragam baru adalah keinginannya dari dua tahun lalu.
Mereka berdua kembali berbincang, tak jarang ada gelak tawa yang terdengar. Sinar matahari tak menghentikan mereka. Lagipula sinar matahari sudah bersahabat sejak kecil, jadi mereka tak merasa tersengat panasnya.
"Allahu akbar … Allahu akbar …." Tak terasa azan sudah berkumandang. Tama dan Mayang naik dari sawah dan membersikan kaki serta tangan mereka yang kotor pada pancuran yang tak jauh dari sana.
Berbincang dengan adiknya membuat Tama merasa gagal, karena belum bisa memberikan apa yang diinginkan adik dan keluarganya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terima kasih yang sudah berkunjung 🤗 Jangan lupa tinggalkan jejak Beri bintang jika dirasa cerita layak Dan Berikan komentar jika ingin menyampaikan kritik dan saran
Salam aksara, salam kisah sederhana, dari penulis yang biasa saja😚