"Kakak kamu kenapa?" tanya Alita pada Mayang saat bertemu di jalan. Bukan tanpa alasan Alita bertanya demikian, sebab sudah satu minggu Tama menghindarinya. Alita bertanya-tanya, apakah pada saat di bukit ia membuat kesalahan? Sehingga Tama menghindarinya.
"Mas Tama enggak boleh dekat-dekat sama Mba," jawab Mayang polos. Jawaban Mayang membuat Alita heran, tidak boleh berdekatan dengannya? Kenapa?
"Mayang bisa jelaskan maksudnya sama Mba?" Alita berharap Mayang mau menjelaskan. Seusia Mayang masih cukup jujur untuk ditanya-tanya. Biasanya anak kelas lima SD bila diiming-imingin jajan akan mau berkata yang sebenarnya, dan Alita akan melakukan jurus itu.
"Ya sudah kalau tidak mau." Alita berkata demikian sebab Mayang hanya diam. "Mba punya banyak jajan di rumah. Yuk main ke rumah Mba," ajak Alita.
"Maaf, Mba. Ini udah sore, Mayang harus membantu Mas Danu mengurus ternak. Jadi Mayang enggak bisa." Alita mendesah kecewa. Ingin memaksakan, namun benar kata Mayang. Hari memang sudah sore, terlihat dari mentari yang mulai kembali ke peraduannya.
"Ya sudah tidak apa. Kalau besok bisa? Besok kan hari minggu." Alita tak menyerah, bagaimana pun juga ia harus mendapat jawaban mengapa ia dijauhi Tama.
Mayang tampak berpikir, Alita memohon dalam hatinya. "Bisa, Mba. Jam sembilan deh, Mba Mayang nanti main. Inget loh, jajannya disisain buat Mayang." Alita terkekeh dibuatnya.
"Siap. Jajan buat Mayang enggak mba makan kok. Ya sudah, yuk kita pulang," ajak Alita.
Keduanya nampak akrab, seperti adik kakak saja. Alita menyemogakan hal tersebut, karena dirinya sudah yakin bahwa ia jatuh hati pada Tama. Berharap bisa berbahagia dengannya. Karena bagi Alita, Tama adalah sosok laki-laki yang dicarinya.
Alita selama satu minggu ini tak bersemangat karena dihindari oleh Tama. Namun bukan hanya Alita saja, tetapi hal itu pun dialami oleh Tama. Setiap malam Tama menatap sang rembulan dan memikirkan perihal rasa pada raganya.
Saat Alita menyapa betapa bahagia hatinya, namun otaknya mengingatkan untuk mematuhi pesan sang bapak, yaitu menjauhinya. Meski ia mendapat izin dari sang ibu, baginya itu tak cukup. Harus dua izin, karena baginya restu orang tua adalah tiket untuk melewati cinta dengan mulus.
Tama merasa bersalah kepada Alita, tetapi dirinya pun berusaha untuk meyakinkan bahwa jalan yang dipilihnya tak salah. Sang bapak yang mengetahui itu pun bangga kepada Tama karena mau menuruti ucapannya.
Entah kisah apa yang kau tulis untukku, Semesta. Sungguh aku bingung dalam menjalaninya. Apakah ini cinta sesaat saja? Hingga kau membuatku menjauh darinya. Melihat binar matanya meredup dan bahagia wajahnya memudar, membuatku merasakan sakit pada hatiku. Namun aku tak bisa menjelaskan dengan pasti. Ini benar-benar rasa cinta atau hanya empati saja? Semesta selalu membingungkan manusia dengan sekenarionya yang tak terduga.
Kembali disesapnya secangkir kopi di tangannya. Kopi saat ini menjadi penenangnya. Tama bukan lelaki perokok seperti bapaknya. Saat gundah melanda, hanya secangkir kopi hitam temannya. Karena bagi Tama rokok adalah hal haram, yang berdosa bila mencicipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah yang (Mungkin) Indah [SELESAI]
Ficción GeneralApa yang penting dalam sebuah hubungan? Kepercayaan? Atau Kesetiaan? Yang paling penting dalam sebuah hubungan yang dilandasi cinta adalah sebuah restu orang tua. Boleh saling percaya dan setia, tapi tanpa restu orang tua? Apakah akan berjalan mu...