Di keheningan malam, Tama menyeruput kopi bertemankan sang bapak di bagian kursi lainnya."Bapak harap kamu enggak mengecewakan bapak, Le," ucap bapak Tama dengan tegas.
"Apa salahnya, Pak? Hanya berjalan-jalan saja untuk menikmati keindahan desa bukan pergi berdua untuk yang aneh-aneh." Tama merasa kesal. Setelah selesai makan malam bapak menyuruhnya untuk menjauhi Alita dengan sebab yang bagi sudut pandang Tama tidak mempermasalahkan.
"Bu Dokter itu suka sama kamu." Tama menatap bapaknya tak percaya. Suka? Yang benar saja. Dirinya hanyalah petani biasa, bagaimana bisa seorang dokter menyukai dirinya?
"Apa kamu tidak menyadarinya? Apa tujuan dia memberikan baju dan tas untuk adik-adikmu? Lalu membawakanmu makanan dan mengajakmu pergi jalan-jalan. Coba pikirkan." Bapak menyeruput kopinya dengan memperhatikan wajah Tama. Ada rasa terkejut dan ragu yang tergambar.
"Jauhi dia. Kita hanyalah orang biasa, tidak pantas untuk jatuh cinta pada seorang sepertinya. Bapak tidak ingin kamu merasakan kecewa," ucap sang bapak lalu meninggalkan Tama dengan sekumpulan pemikiran yang belum menemukan jawaban.
Apa iya? Apa iya dia menyukaiku? Aku? Tidak mungkin kedengarannya. Tapi bagaimana kalau itu kebenarannya?
Tandas sudah secangkir kopi itu, tetapi Tama belum berhenti memikirkan ucapan bapaknya. Sebagian dirinya membenarkan, sebagian lagi menolak untuk menerima. Sebab baru kali ini Tama merasakan rasa seperti ini. Nyaman dan bahagia bila di dekatnya.
"Jangan memikirkan omongan bapakmu, Le. Kalau kamu merasa benar ya lanjutkan. Jangan dipaksakan kalau kamu tidak nyaman. Orang tua berkata demikian karena tak mau anaknya seperti anak-anak lain. Saat jatuh cinta mengalami patah hati yang menyakiti jiwa dan raga." Sang ibu datang tiba-tiba, Tama mendengarkan dengan seksama ucapan sang ibunda.
"Tama enggak setuju sama ucapan bapak, Bu. Menurut Tama masih wajar saja, enggak ada yang perlu ditakuti."
"Namanya juga jatuh cinta. Mau diberitahu seperti apa juga tidak akan menerima," ucap sang ibu melihat Tama yang bebal.
"Bu, Tama enggak jatuh cinta." Tama membawa gelas kopinya dan pergi meninggalkan sang ibu sendiri di teras rumah.
"Dasar anak muda, semakin ditentang semakin melawan," ucap ibu Tama dengan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Tama.
***
"Aku senang banget, Mif. Serius deh ini aku jatuh cinta, bukan kagum saja."
"Dasar bocah. Dari awal aku bilang juga apa, ngeyel si."
"Andai tadi kamu lihat. Romantis banget tahu enggak," ucap Alita menggebu-gebu.
"Cuma ke bukit menikmati senja aja dibilang romantis. Dasar bucin," ucap Mifta mencibir.
"Aku telepon kamu buat berbagi rasa bahagia. Ini malah kamu bikin aku sebal. Au ah gelap."
"Kalau lagi jatuh cinta mah gitu ya, diejek dikit marah, disanjung sumringah. Heran aku sama orang yang jatuh cinta, hormonnya labil."
"Awas kamu ya, Mif. Kaya kamu enggak aja dulu," cibir Alita.
"Dulu ya dulu. Sekarang kan enggak," ucap Mifta tak terima.
"Udahlah. Ngomong sama kamu bikin hormon bahagiaku hilang. Aku tutup saja. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Bukannya nambah bahagia, malah amarah yang kudapat. Dasar Miftah.
Alita berbaring seraya memeluk bantal guling. Sebab ingin memeluk Tama belum bisa, karena belum sah di mata hukum dan agama.
Malam itu keduanya sama-sama bahagia. Taman hati mereka sedang berbunga, seperti habis mendapat pupuk saja. Memang ya, jatuh cinta dapat membuat manusia gila. Wajar bila saat membayangkan wajah pujaan hati jadi senyum-senyum sendiri.
Alita sibuk dengan khayalannya, sementara di sana, di dekat jendela kamar sederhana. Seorang pria menatap bulan yang tengah bersinar. Tangan dilipatnya di depan dada. Banyak pikiran di otaknya, bimbang perasaannya.
"Mas Tama," panggil Mayang tetapi tidak mendapat jawaban. Mayang memutuskan untuk menghampiri Tama yang berada di dekat jendela kamarnya.
"Mas," ucap Mayang dan menepuk lengan Tama.
"Eh, Mayang. Kenapa?"
"Mas melamunkan apa si? Pasti Bu Dokter itu ya," ucap Mayang dengan nada mengejek.
"Ngawur kamu."
"Terus apa? Tadi Mayang enggak sengaja dengar obrolan bapak sama mas."
Tama tak menjawab, tetap mendengarkan Mayang. "Mayang suka-suka saja kok Mas Tama dekat sama Bu Dokter. Bu Dokternya baik, ramah, dan enggak galak lagi. Mayang heran kenapa bapak enggak suka."
Tama menarik napas panjang."Mas enggak tahu alasan bapak bilang seperti itu. Tapi mas rasa ucapan bapak benar. Enggak sepantasnya mas bergaul sama seorang dokter."
"Mas, kata Pak Ustad manusia itu sama, hanya amal ibadah yang menjadikannya berbeda. Lagi pula sekarang Indonesia sudah merdeka, harusnya tidak ada sistem kasta lagi."
"Kamu ini, dikira ini zaman apa pake sistem kasta," ucap Tama seraya mengelus rambut hitam Mayang dan duduk di sebelahnya.
"La terus apa tadi maksudnya pake membandingkan. Mayang bingung."
"Kamu itu masih kecil. Mana paham hal seperti ini. Sudah sana tidur, enggak usah mikir yang berat-berat, nanti kamu kurus lagi. Udah kurus tambah kurus, kaya lidi berjalan nanti, serem," ejek Tama. Hal itu membuat Mayang memberengut kesal dan meninggalkan Tama sendirian di kamar bersama tanda tanya dalam logika dan hatinya.
Semesta, jangan kau buatku nestapa karena cinta. Sesungguhnya cinta dipenuhi bahagia, seberapa pun beratnya bila dihadapi bersama dengan sabar dan ketulusan hati. Pasti Illahi kan memberkahi. Semoga hatiku jatuh pada wanita yang tepat dan rasaku muncul pada waktu yang benar. Sungguh aku tak ingin mengecewakan seseorang.
Terima kasih atas waktunya yang telah melanjutakan membaca ^^
Maaf baru sedikit kisah yang kuceritakan pada kalian :)
Semoga dimaafkan segala kesalahan dalam penulisan ^^
Serta jangan lupakan untuk memberi kritik dan saran 😘Salam aksara, salam kisah sederhana, salam bahagia dari Riana 🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah yang (Mungkin) Indah [SELESAI]
Fiksi UmumApa yang penting dalam sebuah hubungan? Kepercayaan? Atau Kesetiaan? Yang paling penting dalam sebuah hubungan yang dilandasi cinta adalah sebuah restu orang tua. Boleh saling percaya dan setia, tapi tanpa restu orang tua? Apakah akan berjalan mu...