Bagian Sebelas || Dekat 2🍁

34 6 6
                                    

.

Semesta selalu memiliki cara unik untuk menyatukan sepasang hati. Entah itu dengan keindahannya atau suasana yang tak mereka duga.

.

"Berapa lama lagi? Apa masih jauh?" tanya Alita pada Tama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Berapa lama lagi? Apa masih jauh?" tanya Alita pada Tama.

"Sebentar lagi. Kenapa? Apa sudah lelah?" Tama menoleh ke belakang menatap Alita yang sedang menyeka kringatnya.

"Kamu lagi jalan sama perempuan, bukan laki-laki. Santai dikit dong, kaki kamu panjang, aku dua langkah kamu satu langkah. Wajar kalau aku merasa lelah."

Tama tersenyum mendengar omelan Alita. Maklum baru kali ini ia berjalan berdua dengan wanita selain ibu dan adiknya.

"Maaf. Saya akan berjalan lebih santai lagi," ucap Tama seraya mengulurkan tangan kepada Alita yang sedang membungkukkan badan.

Alita menatap tangan Tama, lalu beralih pada netranya. Dunia seperti berhenti, kala sepasang muda mudi saling menatap. Bak kutup utara dan kutup selatan yang saling tarik menarik, seperti itu tatapan mereka, tak lepas bagaikan magnet.

Alita perlahan menerima uluran tangan itu. Kembali, saat kulit mereka bersentuhan, ada gelenyar aneh yang memicu jantung berdetak lebih kencang. Berusaha menetralkan, mereka kembali berjalan dengan beriringan.

Semburat kemerahan mengintip, cahaya sang surna jatuh pada rambut Alita, kemilauan jadinya. Tanpa sadar, tangan mereka masih bergandengan, yang awalnya mendominasi adalah rasa lelah, kini rasa ini berganti dengan kegembiraan. Keduanya menikmati sore itu dengan diam, tetapi hati mereka saling mengutarakan, menerka rasa yang mulai menerpa.

Dari netra Alita, sudah terlihat puncak bukit yang dimaksud. Ada pohon dengan kursi-kursi kayu. Ada beberapa saung kecil menghadap sang senja pada langit desa.

Alita dan Tama duduk di salah satu saung, pemandangan mentari yang mulai tenggelam terpampang di sana. Semilir angin memainkan rambut Alita. Tak lama kemudian Alita menyadari tali sepatunya terlepas, Alita membungkuk untuk menali sepatunya. Dengan lancang tangan Tama menyingkirkan anak rambut Alita dan menaruhnya di sela telinga.

Alita menengok, dan kembali adegan saling memandang terjadi. Semesta mendukung moment itu, keadaan hening dan sisa-sisa cahaya mentari mengenai wajah keduanya.

"Maaf," ucap Tama gugup saat menyadari perbuatannya.

"Sekali lagi maaf, tangan saya telah lancang." Tama memalingkan wajahnya, ada semu merah yang menghias, dan ada rasa gugup yang menyerang.

Alita terkekeh melihat tingkah Tama. "Sudah tak apa. Toh itu hal wajar."

"Apa di sini sering dikunjungi?" tanya Alita membuka suara setelah keheningan akibat tanggan lancang Tama.

Kisah yang (Mungkin) Indah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang