Bagian Tujuh Belas || Titik Terang 🍁

17 2 0
                                    

Dua hari setelah kejadian itu Alita datang dengan membawa makanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dua hari setelah kejadian itu Alita datang dengan membawa makanan. Berharap bisa membicarakan permasalahan dengan baik. Alita berusaha tidak gugup dan ketakutan.

Ibu Tama menyambut baik kedatangan Alita. Mayang dan Danu pun demikian, mereka amat senang. Namun muka masam ditunjukkan oleh bapak Tama.

Tama mencoba memberikan kekuatan kepada Alita, ia menenangkan Alita dan berkata semua akan baik-baik saja. Sementara Alita tetap tak bisa tenang.  Cerita Tama terus terngiang.

"Wah, masakan Mba Alita enak banget. Rasanya hampir sama seperti masakan, Mas Tama," puji Danu dan mendapat senyuman dari semua kecuali bapak Tama.

"Iyo, Nduk. Ibu suka, kamu pintar memasak ya," ucap ibu Tama sepemikiran dengan Danu.

"Udah cantik, pintar masak, bisa mengobati orang. Wah menantu idaman banget, iya kan, Pak?" ucap Mayang polos. Semua orang melihat Mayang, takut kalau bapak Tama akan marah lagi. Bapak Tama hanya diam, tak merespon apapun.

Di meja makan tidak ada ketenangan, sesekali ada guyonan yang dibuat oleh Mayang dan Danu. Namun tak menggoyahkan ekspresi bapak Tama.

Seusai makan siang, Alita duduk berdua dengan Tama di teras depan. Alita ingin membantu mencuci piring namun tak diperbolehkan. Akhirnya di sinilah dirinya,  bersama Tama. Tangan mereka tertaut, menunjukkan seolah mereka tak dapat dipisahkan.

"Mas, bapak kamu marah ya? Dari tadi kok hanya diam saja, aku takut," ucap Alita dan bersandar di pundak Tama.

"Bapak memang seperti itu, sudah jangan dipikirkan." Tama mengelus rambut hitam Alita.

Keduanya tak sadar, bapak Tama memerhatikan keduanya. Telingannya mendengarkan apa saja yang dibicarakan mereka.

"Kalau memang bapak enggak suka, ya sudah lah, Mas. Aku menyerah saja. Lagi pula sebentar lagi waktuku di sini akan habis. Mungkin dengan begitu kita bisa melupakan satu sama lain. Meski kurasa tak mungkin,"

"Kita bisa, Ta. Kita enggak boleh menyerah dulu, kamu yang dulu ngotot, kok sekarang malah gitu."

"Aku bingung, aku berpikir, apakah cinta kita salah sehingga bapak Mas tidak merestuinya?" Tama diam mendengarkan.

"Aku juga tak ingin jatuh hati bila tak direstui. Tapi apalah dayaku yang hanya manusia biasa. Aku tak dapat menentukan akan memberikan hatiku untuk siapa dan dengan strata sosial seperti apa. Bukankah cinta hadir untuk melengkapi perbedaan? Lalu mengapa cinta kita di tentang?

"Maka dari itu, kamu harus membujuk bapak. Barangkali bila kamu yang berbicara bapak akan mengerti. Kalau aku lagi, takut lepas kendali."

"Tapi Mas, aku takut sama bapak, Mas. Keliatan--" belum selesai Alita berbicara, ucapannya sudah dipotong oleh bapak Tama.

"Galak?"

Sontak keduanya menoleh menatap bapak Tama. Kaget, takut, dan bingung yang dirasakan Alita.

"Mati aku," gumam Alita.

Tama dan Alita duduk berjauhan--menjaga jarak. Bapak Tama duduk di sisi lainnya. Melihat Tama dan Alita, seolah ingin menerkam mereka.

"Bapak minta maaf," ucap Bapak Tama tiba-tiba.

Alita dan Tama tak percaya terhadap pendengaran mereka. Maaf? Mengapa bisa?

"Maksud bapak?" tanya Tama.

"Bapak mendengar semuanya, bapak rasa bapak terlalu keras kepada Tama. Dia sudah dewasa, sudah bisa menentukan pilihannya."

"Kita direstui, Pak?" tanya Alita tanpa sadar.

"Eh, enggak, Pak, enggak." Alita mengelak, pipinya bersemu merah. Dirinya salah tingkah.

"Iya, bapak merestui kalian. Bila kalian benar-benar serius, segerakanlah," ucap bapak Tama dan meninggalkan keduanya dengan bahagia yang tidak bisa diutarakan.

Keduanya berpelukan. Senyum lebar tercetak di wajah keduanya. Seperti mendapat uang ratusan juga saja.

"Bapak kamu baik ya," ucap Alita.

"Tadi saja bilangnya galak, sekarang kok beda," ejek Tama dan mendapat hadiah cubitan di perutnya.

***

Mentari mulai kembali ke peraduannya. Semburat kemerahan terlukis indah, semilih angin menyapanya ramah. Alita duduk di teras rumah dengan secangkir teh dan laptop di pangkuannya.

Bahagia sedang berasahabat dengannya. Kini dirinya tak merasakan kegelisahan lagi. Sepulang dari rumah Tama, Alita langsung memberitahu Mifta, dan benar saja dugaannya. Mifta sangat terkejut dan ikut bahagia.

Tangan Alita menari di atas keyboard laptopnya. Menuliskan sesuatu di sana. Alita menyukai menulis puisi, sekarang itulah yang ia lakukan. Bait-bait sajaknya mencerminkan suka cita. Rasa cinta digambarkan di sana.

Tanpa sadar Alita tersenyum, kadang tertawa. Sudah seperti orang gila. Memang ya, cinta dapat membuat siapa saja yang merasakannya menjadi gila.

Tak hanya Alita, Tama juga. Di lain tempat, Tama senyum-senyum sendiri. Kemarahan telah kalah oleh cinta. Cinta yang tulus dapat melewati rintangan  yang sudah dipersiapkan semesta.

Beryukurlah kepada insan yang dapat merasakan cinta dan kasih sayang. Sebab hidup dengan cinta dan kasih akan menjadikan hidup manusia lebih berwarna dan tertata.

Terima kasih atas waktunya yang telah melanjutakan membaca ^^Maaf baru sedikit kisah yang kuceritakan pada kalian :)Semoga dimaafkan segala kesalahan dalam penulisan ^^Serta jangan lupakan untuk memberi kritik dan saran 😘

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih atas waktunya yang telah melanjutakan membaca ^^
Maaf baru sedikit kisah yang kuceritakan pada kalian :)
Semoga dimaafkan segala kesalahan dalam penulisan ^^
Serta jangan lupakan untuk memberi kritik dan saran 😘

Salam aksara, salam kisah sederhana, salam bahagia dari Riana 🍁

   

Kisah yang (Mungkin) Indah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang