4. Air Mata 🐎

6.1K 844 88
                                    

"Betapa kerja kerasnya aku ... tetaplah sebatas budak untuk penghasil uang. Aku tidak akan pernah diberikan rasa kasih sayang itu."

🐎 Sebatas Kekangan 🐎

"Perut kamu benaran nggak ada masalah? Mau rehat dulu? Kakak ada obat nih, minum dulu ya? Udah makan siang belum?"

Kak Lala, guru vokalku, melemparkan pertanyaan bertubi-tubi saat aku keluar dari toilet, menggigit bawah bibirnya menunggu sebuah jawaban. Kujalan menghampirinya sambil memegang perut dengan tangan kanan, menggeleng kepala lemah.

"Gapapa, Kak. Aku memang udah biasanya diare. Soalnya keseringan makan-makanan basi. Kakak nggak perlu khawatir. Lanjut aja yuk."

Kak Lala menatapku dengan penuh perhatian, matanya berkaca-kaca. Ia mengusap kepalaku pelan. Baru kali ini ada orang yang mengusap kepalaku setelah 5 tahun berlalu. Aku pejamkan mata untuk menikmati. "Terima kasih, Kak, telah memperhatikan keadaanku."

"Iya, Stel. Maafin Kakak yang lemah ini. Aku jelas udah tau kelakuan biadab nenekmu itu, tapi nggak bisa berbuat apa-apa ...." Suara kak Lala semakin melemah, tidak berdaya.

Kulihat setiap pahatan wajah kak Lala dengan seksama. Jika sebelumnya aku hanya dapat melihat Kak Lala dari kejauhan di saat ia mengajari kakak nyanyi, maka sekarang aku dapat melihatnya dari jarak dekat. Kak Lala memiliki wajah kecil yang imut, bola matanya besar dan sebuah tahi lalat manis menghiasi sudut mata bawahnya. Tak tertahan untuk menghiburnya, kuraih tangan putih mulusnya. "Gapapa, Kak." Sebuah lengkungan sudut bibir kubentuk.

"Astaga. Tangan kamu kasar sekali ...." Kak Lala merasakan keriput pada telapak tanganku. Dengan segera aku tarik kembali tanganku, malu. "Setiap hari kamu disuruh cuci baju ya? Nenekmu benar-benar nggak berperikemanusiaan!"

Untungnya saat ini, nenek dan kakak sedang tidak ada di rumah. Kalau tidak, bisa bahaya ucapan kak Lala didengar nenek. "Sejak kebakaran itu terjadi, ini semua udah jadi resiko aku, Kak ...," jawabku, menundukkan kepala.

"Andai kak Andrian dan kak Dian masih ada. Kamu sekarang pasti menjadi anak yang sangat bahagia."

Aku mengangkat kepalaku, karena merasa nama orang tuaku terpanggil. "Kakak kenal mereka?"

Kak Lala menghela napasnya berat. "Betul. Mereka adalah penyelamat hidupku dan juga mamaku. Orang tua kamu adalah pengacara yang hebat. Mereka senantiasa bela kebenaran. Waktu itu, mereka bantu aku dan mamaku sidangin papaku di pengadilan. Papaku berselingkuh dan KDRT. Berkat bantuan orang tua kamu, aku dan mamaku baru bisa terbebas dari kehidupan yang menderita itu. Mereka benar-benar sang penyelamat. Padahal aku dan mama nggak punya uang untuk sewa pengacara, tapi mereka membantuku tanpa memungut biaya sepersen pun."

Hatiku teriris seketika. Rasa rindu akan sosok kedua orang tuaku menggerogoti hati. "Aku rindu mereka ...," ucapku lirih.

Kak Lala segera memelukku. "Anak yang malang .... Kamu boleh anggap aku sebagai kakakmu. Kalau kamu rindu sama mereka, kamu boleh meluk aku kapan aja," hiburnya.

"Terima kasih, Kak." Hanya itu kata-kata yang dapat keluar dari mulutku.

"Oh iya ...." Kak Lala melepaskan pelukannya. "Teknik vokalmu udah bagus sebetulnya. Bagaimana kalau Kakak ajarin kamu cara menulis dan membaca lirik lagu? Tapi sebelum itu, kamu minum obat dulu ya. Udah makan siang?"

"Boleh ... aku mau banget Kak belajar nulis dan baca," jawabku antusias. "Aku belum makan siang. Biasanya dalam sehari aku hanya mendapatkan dua kali jatah makan. Subuh ini aku udah makan bubur, jadi jatah makan berikutnya ada di malam hari."

Sebatas Kekangan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang