16. Memainkan Perasaan 🐎

4.2K 590 57
                                    

"Kenapa harus memainkan perasaan ini jika ujung-ujungnya kamu menyuruhku untuk meninggalkanmu?"

🐎 Sebatas Kekangan 🐎

Rasa kikuk menyelimuti suasana di restoran khas western itu. Sudah berapa menit berlalu, sang mempelai maupun para saksi tidak ada satu pun di meja itu yang mengeluarkan suara. Masing-masing terlarut dalam pikirannya sendiri.

Kalian masih ingat sama Vivi? Salah seorang penyelamat hidup Stella yang pernah bilang kalau ia lagi incar kakak kelasnya? Siapa sangka ... kakak kelas yang disukai oleh Vivi itu, kini telah menjadi suami Stella. Dunia begitu sempit.

Stella tidak tahu harus berucap apa selain menjelaskan situasi sesungguhnya dari pernikahannya. Gadis itu mulai bersuara dan bercerita. "Jadi begitu ceritanya, Kak. Kak Denish yang nyelamatin aku dari om Adit. Terus aku kira kami udah menikah, ternyata enggak dan hari ini kami baru sah ke KUA-nya," ucapnya sebagai penutup cerita.

"Kasihan deh ada yang patah hati." Re bersuara sambil memainkan ponselnya.

Dito menyenggol siku Re, memberi sinyal kepadanya. Re tertegun setelah melihat ekspresi Vivi. Wanita berambut pendek itu merunduk kepalanya dengan mimik yang sedih.

"Move on ke gue aja, Vi." Re menepuk-nepuk bahu Vivi dengan iba.

Wanita itu bergeming. Tidak berucap sepatah kata pun sehingga membuat orang lain kebingungan.

"Umm maaf ... tapi gue nggak inget punya adik kelas kayak lo," ucap Denish sambil menggaruk-garuk alisnya. Ia tidak merasa pernah kenal dengan Vivi sebelumnya.

Setelah semua penghuni meja itu mengeluarkan suara, hanyalah suara Denish yang sukses membuat Vivi merespon. Vivi menatap setiap sudut wajah Denish dengan dalam.

Memang selama ini, Vivi hanya menyukai Denish secara diam-diam. Dulu saat di sekolah, ia hanya dapat menatap Denish dari kejauhan. Menaruh kue di meja Denish saat Denish lagi pergi. Mengirimkan Denish hadiah diam-diam. Mencari kabar Denish dari teman dekatnya. Waktu itu, ia belum menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya terhadap Denish.

Setelah waktu berputar, akhirnya Vivi mengumpulkan keberanian untuk mengejar cinta dari Denish. Tapi, sekarang pupus sudah harapannya. Jari manis pria itu telah melingkar sebuah cincin dari perjanjian sakral.

Vivi menghela napasnya kasar. Ia sedang belajar untuk mengikhlaskan. Jika dibandingkan dengan Stella, sosok Denish lebih cocok untuk Stella ketimbang dirinya. Stella lebih membutuhkan Denish.

"Semoga suatu saat kalian saling mencintai, dan hidup bahagia," ucap Vivi. Sudut bibirnya melengkungkan sebuah senyuman yang ikhlas.

🐎🐎🐎

"Bocil." Denish menepuk bahu Stella hingga gadis itu tertegun. "Bengong aja dari tadi di balkon."

Gadis itu tidak menjawab. Matanya yang berkaca-kaca kembali menatap bintang di atas langit dengan sendu. Angin sepoi, dibiarkan menghantam wajah mungilnya. Lantunan musik dari suara Maudy Ayunda mengiringi suasana. Sesekali bibirnya mengikuti lirik lagu.

"Pakai jaketnya nanti masuk angin." Denish menyelimuti tubuh Stella dengan sebuah jaket miliknya.

"Makasih," jawab Stella singkat. Entah apa yang dipikirin oleh gadis itu. Matanya hanya menyorotkan tatapan sendu.

"Tataplah ke langit jika air matamu akan turun. Niscaya, kamu akan menjadi gadis yang kuat," bisik Denish setelah melihat mata Stella berair.

Sebatas Kekangan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang