Sore ini, Annaya sedang berada di rumah sakit untuk chek-up dan ditemani oleh Liora. Annaya masuk ke dalam ruang periksa menggunakan kursi rodanya, berbeda dengan Liora yang menunggunya di luar atau lebih tepatnya di depan ruang periksa.
Annaya mengelap hidungnya yang tiba-tiba mengeluarkan darah, dokter Andi pun dengan sigap memberikan tissue kepada Annaya. Setelah itu, dokter Andi pun memeriksa keadaan Annaya.
"Annaya," panggil dokter Andi.
"Hm," sahut Annaya.
"Apa obatnya belum habis?" tanya dokter Andi.
Annaya menatapnya lalu mengangguk, "Iya dok, obatnya belum habis," ujar Annaya.
"Saya 'kan sudah bilang, obat yang saya berikan itu harus habis dalam waktu sebulan. Sekarang sudah sebulan lebih dan obatnya belum habis? atau jangan-jangan kamu tidak meminum obatnya ya?"
"Anna capek dok, Anna gak mau terus-terusan minum obat. Karena hasilnya akan sama aja, gak akan ada perubahan dok," ujar Annaya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Dokter Andi menghela nafas, "Tapi setidaknya kamu minum obat itu serta vitaminnya, agar tubuh kamu kuat. Lihat kondisi kamu sekarang, tubuh kamu lemah Annaya," ujar dokter Andi.
"Ya, Anna tahu kok dok. Annaya udah lemah banget, tapi bukan karena Anna gak minum obatnya. Itu karena memang sudah takdir Annaya," ujar Annaya menangis.
"Sudah-sudah jangan menangis lagi, sekarang kamu tunggu di luar. Nanti saya akan ambilkan obatnya,"
Annaya pun keluar dari ruangan, dokter Andi yang membantunya mendorong kursi roda yang Annaya duduki. Liora langsung mengambil alih saat Annaya sudah di luar ruangan.
***
Kini Annaya sudah berada di rumah, lebih tepatnya berada di dalam kamar. Ia sedang tiduran sembari memainkan dream chatcher yang baru saja Revan belikan kemarin. Sebulir air mata jatuh membasahi pipinya, ia teringat akan saat itu. Saat ia berada di taman dan jelas-jelas melihat Reynaldi sedang memeluk pinggang Debby.
Rasanya sangat sakit sekali, sakit di hati dan menyesakkan di dada.
Annaya pun mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian ia mengambil handphonenya yang terletak di atas meja, untung saja meja nya terletak di sebelah kasur Annaya.
Ia berpikir sejenak, ia ingin mengirim pesan kepada Reynaldi bahkan ingin teleponan. Tetapi ia takut mengganggu. Namun tiba-tiba ponselnya bersuara, menandakan ada notifikasi chat. Dengan cepat Annaya membuka ponselnya, ia kira Reynaldi yang mengirim pesan tapi ternyata yang mengirim pesan itu Fadli. Annaya kembali menyimpan handphonenya di atas meja, mengabaikan pesan dari Fadli.
Annaya kembali merebahkan tubuhnya, lalu menutup wajahnya menggunakan bantal. Dan tanpa sadar air matanya keluar begitu saja tanpa di pinta, entah mengapa hari ini ia ingin menangis padahal tidak ada penyebabnya.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, dan menampakkan seorang laki-laki yang masih menggunakan seragam putih abunya dan terdapat luka di bagian wajahnya dan juga bibirnya. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, Annaya menghapus air matanya lalu mengubah posisinya menjadi duduk.
"Rey... kamu kenapa?" tanya Annaya kepada laki-laki itu, ya laki-laki itu adalah Reynaldi.
"Gue berantem," jawab Reynaldi cepat seraya duduk di tepi kasur, sebelah Annaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Annaya (SUDAH TERBIT)
Novela Juvenil"Kalo kamu gak suka sama aku karena aku itu penyakitan gapapa kok. Karena suatu saat nanti aku gak akan ganggu hidup kamu lagi dan akan pergi dari kamu. Semoga kamu bahagia terus ya, Rey." Ucap Annaya sembari memandang Reynaldi dengan mata yang berk...