15. Gugup

29 4 0
                                    

Enza terus terdiam duduk di sofa. Tak berani menatap sosok di hadapannya. Sejak kejadian dua jam yang lalu, ia masih setia terduduk diam di sofa. Tidak berani berkata sepatah kata pun.

"Um ... Elo gak kerja?" Freinz menghentikkan tangannya. Berhenti mengetikkan kata di sana. Membuat Enza tersentak dan kembali menundukkan kepala. Tak ingin bersitatap dengan wajah datar itu.

"Maaf, kalo gue ganggu lo. Gue ... Pulang aja. Kabarin kalo Thel nyariin gue." Enza bergegas meraih tas selempangnya. Berdiri dari sofa dan segera beranjak menuju pintu keluar. Belum sempat Enza sampai di dekat pintu, tangannya sudah lebih dulu dicekal. Enza terhenyak. Bingung harus melakukan apa.

"Duduk!" titah Freinz sekilas. Enza terpengarah, dan tetap berdiri kukuh di posisinya. Freinz menghela napas. Dan seketika tubuh Enza terhuyung duduk di atas kedua paha Freinz dan Freinz pun meletakkan kedua tangannya di antara tubuh Enza. Mengunci pergerakan sang gadis sembari terus mengetik di laptop.

"E—Elo ngapain?" gugup Enza terbata-bata.

"Gue ... Mau ke kafe. Takutnya, kakak gue nyariin lagi," lanjut Enza dengan nada yang masih sama. Bahkan, kedua tangannya sendiri sudah lengket. Dikarenakan keringat dingin yang tak kunjung berhenti membasahi tubuhnya.

Namun, bukannya melepaskan, Freinz justru meletakkan dagunya di bahu kanan Enza. Menghirup parfum Enza yang menguar dari tubuh dan rambut Enza. Membuat Enza bergidik ngeri disebabkan deru napas Freinz yang menerpanya. Freinz menyunggingkan senyum tipis. Menarik kembali dagunya dan beralih menatap kedua retina Enza.

Pipi Enza merona merah. Merasa malu sekaligus bingung mau berbuat apa. Mengingat posisinya yang sangat tidak menguntungkan.

"Kenapa? Malu?" tanya Freinz tepat sasaran. Enza menggelengkan kepala. Berusaha melepaskan tangan kanan Freinz dan bergegas kembali duduk di sofa. Menutupi semburat merah di seluruh wajahnya. Freinz terkekeh. Memberikan cangkir kopi miliknya kepada Enza, yang langsung diambil olehnya tanpa pikir panjang. Menegak habis isi kopi tersebut.

Seketika, Enza tersadar. Buru-buru meletakkan cangkir kopi dan menyentuh bibirnya. Memberikan kerutan di kening Freinz. Bingung akan tingkah Enza.

"Ini kopi udah lo minum?" tanya Enza cepat. Freinz menganggukkan kepala polos. Tak mengerti akan perubahan Enza.

"Kenapa?" tanya Frinz ingin tahu. Karena Enza sendiri tampak tak berniat berbicara dengannya dan terus menutupi wajah.

"Lo lupa apa pikun sih? Bukannya lo udah cerita tentang maksud dari minum di gelas yang sama? Yang beda jenis, masa lo lupa," cicit Enza sembari melirik Freinz dari bantal sofa.

"Kapan?" Freinz menggelengkan kepala yang seketika membuat Enza terkejut.

"What? Lo udah pikun?" Freinz menatap kesal Enza. Tak suka dicaci maki orang.

"Argh! Demi apa? Ya ampun! Orang kayak lo udah lupa beginian. Hal sepele lagi! Lo itu—Argh."

"Gak usah caci maki saya."

"Hello! Bukannya gue mau ngejek lo. Hanya saja, gue—"

"Kamu kenapa?"

"Gue ... Ah, lupain! Gue mau pulang aja. Masa iya, masalah letak cincin tahu. Tapi, soal ciuman nggak. Padahal, dia sendiri yang cerita. Masa iya, lupa. Cih! Dan sialnya, gue udah nglakuin ini hingga kedua kalinya," cicit Enza sembari memutar kedua bola mata malas. Beranjak dari sofa. Memutari sofa dan berjalan menuju pintu. Lagi-lagi, tangan Enza tercekal. Kali ini, tidak begitu kasar dan tiba-tiba. Hanya cekalan biasa tanpa tenaga.

"Hah? Apa?" ucap Freinz kebingungan sembari terus mencekal tangan Enza. Enza menghela napas. Menatap Freinz lekat.

"Ck, lo secara gak sengaja udah ngcium gue. Walaupun itu lewat perantara gelas. Dan ini yang kedua kalinya. Ingat itu! Dulu, lo yang ngasih tahu gue. Sekarang, biar gue yang ngasih tahu, lo! Bye!" Enza berjalan cepat menuju pintu apartemen. Membuka pintu dan keluar dari sana. Menimbulkan suara dentuman pintu yang sangat keras. Meninggalkan Freinz dengan senyum terukir. Menandakan kebahagiaan.

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang