26. Murka

22 4 0
                                    

Belum ada setengah hari Enza menginap di apartemennya. Namun, gadis itu sudah mengajaknya 'tuk mengantarkannya pulang, beralibikan tak ingin mengganggu pekerjaan Freinz. Namun, bukannya terganggu, ia justru merasa senang. Hitung-hitung pelatihan ketika mereka akan berumah tangga nanti.

"Freinz, dagingnya juga dihabisin dong. Jangan makan sayur terus ih. Nanti kamu kapan gemuknya?" cerewet Enza sembari berkacak pinggang.

"Tapi, aku sudah kenyang, Enza."

"Gak mau tahu! Pokoknya habisin! Oh ya, jangan lupa susunya. Dihabisin! Kalo gak, mubadzir nanti. Kamu kan tahu kalo—Hmph." Enza mencebikkan bibir tatkala Freinz justru menyuapkan daging miliknya ke dalam mulut Enza.

"Udah, diam. Kalo makan tuh diam!" Enza menelan potongan daging di mulutnya dan mencebik.

"Serah!" Freinz tersenyum dan beralih menegak susunya hingga tandas.

"Sudah habis kan? Aku tidak mubadzir kan?" tanya Freinz bangga sembari menunjukkan piringnya yang kosong. Karena tadi ia sudah menyendokkan semua daging yang ada di pirinya pada mulut Enza. Membuat pipi gadis itu mengembung karena banyaknya daging yang ia suapkan. Enza berdeham dan bergegas mengambil tas selempangnya.

"Grez, tolong jaga Thel. Saya ke kantor dulu."

"Baik, Tuan."

"Ayo!" Enza menurut. Memakai high heeals dari lemari sepatu dan membuka pintu apartemen. Disusul oleh Freinz, lengkap dengan jas, tuxedo, celanan bahan hitam, serta sepatu pantofel andalannya. Hendak mengantarkan Enza pulang terlebih dahulu.

☕☕☕

Sesampainya di komplek perumahan Enza, Enza pun melepas seat belt dam menoleh ke arah Freinz. Freinz tampak memasang wajah datar. Wajah yang sama seperti mereka bertemu 'tuk pertama kalinya.

"Kenapa? Kok cemberut gitu?" manja Enza sembari menarik kedua pipi Freinz gemas. Freinz menangkap kedua tangan Enza dan menggeleng.

"Ya udah, kalo gitu, aku pulang dulu, ya." Enza melepas kedua tangannya. Namun, belum sempat terlepas, Freinz sudah telah lebih dulu menariknya dan ....

Cup

"Have a nice day," ucap Freinz tulus selepas ia mencium kepala Enza sayang. Enza mengangguk dan lantas keluar. Melambaikan tangan ke arah Freinz sekilas sebelum akhirnya masuk ke dalam komplek perumahannya. Freinz terus mengukir senyum. Sebelum akhirnya menginjak gas dan melajukan mobilnya menuju perusahaan miliknya. Kembali melaksanakan tugas sebagai seorang CEO.

Enza membuka pintu rumah. Tampak lenggang dan tak berpenghuni. Dalam hati, Enza bersorak gembira dan mulai mengendap-endap menuju tangga. Hendak menuju kamarnya. Namun, dehaman seseorang dari arah belakangnya membuat ia mati kutu. Tak berkutik barang sedetik pun.

"Kamu darimana, hah? Kok baru pulang? Jangan bilang kalo kamu nginep di rumah Al," interupsi seorang pria paruh baya dengan hidung bertengger kaca mata baca. Enza menghembuskan napas. Dan berbalik.

"Asalamulaikum, Bi. Abi udah dari tadi di situ?" tanya Enza sehalus mungkin. Hasan melepas kaca matanya. Bangkit dari kursi dan menatap Enza. Ada gejolak api yang berkobar di kedua retina Hasan. Petanda ia sedang marah besar.

"Kakek bilang, kemarin kamu ke rumah kakek sama tunangan kamu. Kenapa kamu gak cerita sama Abi, hah? Kalau kamu sudah punya tunangan. Malah kamu sudah bertemu dengan orang tuanya dan orang tuanya sudah merestui kalian. Tapi, Abi?" Enza membulatkan kedua matanya. Oh, tidak! Bagaimana ini?

"Enza ...."

"Sampai satpam perumahan sendiri tahu tunangan kamu. Sedangkan, Abi?"

"Maaf, Abi. Enza gak bermaksud—"

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang