17. Malam Indah

33 3 0
                                    

Enza mendudukkan dirinya di bemper mobil. Memandangi keramaian Bandung di malam hari, yang padat penduduk. Banyak hilir mudik pengunjung melintas di hadapan Enza. Ditemani gemerlap cahaya lampu temaram trotoar. Membuat suasana kian indah di Jalan Braga tersebut.

Pandangan Enza seketika teralih. Ketita seseorang datang menghampirinya sembari membawa sebuah es krim vanila. Enza pun menerimanya tatkala sosok tersebut memberikannya es krim. Mengucapkan terima kasih dengan pandangan yang tak luput dari jalanan di depannya.

"Ternyata, dunia kita indah juga, ya. Kalo orang-orang dengan santainya berjalan bersama di sebuah tempat tanpa teringat akan permusuhan. Terlihat adem dan tenang. Beda halnya dengan tawuran, yang sampe sekarang masih ada dan kian marak. Cih, merusak dunia saja." Enza menjilat es krimnya. Menikmati kedamaian malam bersama Freinz di sisinya.

Freinz menyeruput segelas es jeruk di tangannya dengan diam. Tak berniat merespon ucapan Enza yang sebenarnya adalah sebuah kebenaran. Tapi, kalau memang sudah begitu, Freinz bisa apa? Toh, dia adalah orang dewasa dan bukan remaja lagi. Buat apa mengurus hal di luar pekerjaannya. Sementara pekerjaannya saja sudah menumpuk sangat banyak. Ditambah acara meeting yang tidak berujung. Mengingat begitu banyaknya perusahaan yang bekerja sama dengannya.

"Oh ya, Thel ke mana? Kok gak ada di apartemen lo?"

"Pergi, sama ortu."

"Pergi?" Freinz mengangguk.

"Diajak ke daerah puncak buat ketemu sahabat papa selama sehari. Besok mereka juga udah pulang. Jadi, kamu bisa ketemu Thel ketika kamu ke apartemen saya besok sore."

"Beneran?" tanya Enza tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Freinz menganggukkan kepala. Sontak, Enza memeluk Freinz erat sebelum akhirnya berbalik. Berjalan meninggalkan Freinz. Freinz mengikuti Enza. Berkeliling menikmati Jalan Barga dengan berbagai makanan kaki lima terjajakan di pinggir jalan.

"Lo mau makan seblak, gak? Di Bandung kan terkenal sama seblaknya," tanya Enza ketika pandangannya menemukan pedagang seblak berjualan tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Freinz menggelengkan kepala.

"Tidak cukup nutrisi. Isinya hanya ceker, bakso, mi, dan sosis saja."

"Lo kira pasta tadi nggak apa?"

"Setidaknya ada jus. Emang, penjual seblak jualan jus?"

"Mana kutahu." Freinz mendengus.

"Ayolah, Freinz. Beli seblak. Lagi pun, lo gak bakal miskin kok cuman gara-gara beli seblak."

"Tapi, saya tidak kuat pedas."

"Serius?" tanya Enza tak percaya. Freinz mengangguk.

"Kenapa gak bilang? Lagian, kita kan bisa pesan seblak yang gak pedas."

"Kalo gak pedas, bukan seblak namanya."

"Bener juga, ya udah, beli satu aja buat gue. Entar, lo nonton gue aja." Enza bergegas menghampiri gerobak penjual seblak. Memesan satu porsi seblak level satu dan juga segelas es susu.

Setelah pesanan mereka siap, mereka pun melanjutkan perjalanan. Membeli beberapa makanan khas bandung seperti surabi, tahu sumedang, karedok, dan juga nasi tutug oncom. Tak lupa, berbagai jajanan modern turut dibeli oleh Enza. Seperti crepes, sosis dan bakso bakar, sempolan, dan terakhir es dawet.

"Lo beneran gak mau coba seblak?" tanya Enza yang sudah berhasil membuka ikatan plastik seblak. Freinz yang duduk di sebelahnya menggeleng dan kembali meminum es dawet miliknya. Hasil perburuan singkat mereka. Saat ini, mereka telah kembali ke dalam mobil. Duduk di posisi mereka masing-masing sembari memakan jajanan mereka.

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang