30. Menggila

23 4 0
                                    

Freinz merasakan hal janggal. Tatkala ia sedang beristirahat di kantornya dan melihat jam dinding. Kenapa Enza tidak datang ke kantornya lagi? Kalau Freinz tidak salah mengira, ini sudah ada sepekan lamanya ia tak mengunjungi dirinya atau bahkan menghubunginya. Bahkan, Thel—buah hatinya—terus menangis dan merengek meminta video call bersama mommanya—Enza. Akan tetapi, gadis itu tidak pernah menerimanya dan berakhir pada suara deringan ponsel.

Tak hanya itu, pesan yang ia kirimkan pun tak kunjung dibalas. Hanya berakhir centang satu sejak terakhir mereka bertemu. Ya, hari dimana mereka menghabiskan waktu seharian penuh berkeliling Kota Bandung berkat permintaan kecilnya. Tapi, kenapa rasanya hari itu seperti hari terakhirnya mereka berjumpa? Seakan-akan Enza ingin menghilang dari kehidupannya dan menjalani kehidupan baru?

Freinz menggelengkan kepala cepat. Berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia sendiri juga hanya menyempatkan makan roti dan kopi. Karena selera makannya yang akhir-akhir ini memburuk. Padahal, Jon—sekretarisnya—sudah membelikannya beraneka ragam makanan. Tapi, entah kenapa raganya selalu menolak pemberiannya dan hanya ingin memakan pemberian Enza saja. Hm ... Freinz akui, ia memang bucin. Dan itu pun terjadi semenjak ia mulai mengenal Enza.

Dalam lubuk hatinya, Freinz hanya bisa berharap Enza baik-baik saja. Dan menyakinkan dirinya kalau ini bukanlah hal apa-apa dan hanya terjadi untuk sementara waktu.

Akan tetapi, persepsi Freinz salah. Sudah sebulan. Dan Enza pun tak kunjung memberikan kabar. Bahkan, di setiap detiknya, Freinz selalu mengirim pesan kepada Enza. Tapi, lagi dan lagi, Enza tidak menjawab. Di telepon pun, tidak dijawab dan berakhir pada seorang wanita yang selalu mengatakan maaf dan nomor yang tidak aktif. Membuat Freinz kesal dan memukul meja kerjanya keras.

Mendorong semua berkas-berkas di atas meja dan membanting vas bunga. Menimbulkan keributan yang membuat para staf datang tergopoh-gopoh menghampiri atasannya dengan air muka bingung sekaligus penasaran. Jon pun ikut turut ambil bagian dengan memanggil satpam perusahaan dan mengajaknya masuk ke ruang sang atasan. Menarik semua gorden agar nantinya para staf tidak kembali penasaran dan bisa kembali bekerja.

"Tuan, ada apa? Kenapa anda marah-marah?" tanya Jon yang berada jauh dari Freinz didampingi oleh dua satpam. Freinz terdiam. Tak menjawab pertanyaan sekretaris.

"Tuan ...."

"Pergi kamu dari sini! Tinggalkan saya sendiri!" bentak Freinz sembari menunjuk pintu ruangannya. Jon menegak saliva susah payah dan berusaha mendekati Freinz.

"Saya bilang keluar! Apakah kalian tidak paham bahasa indonesia? Atau saya harus pakai bahasa inggris?" ucap Freinz kesal sembari terus menunjuk pintu.

"Tapi, Tuan—"

"Kamu mau saya pecat, hah?" bentak Freinz keras. Cepat-cepat, Jon menggelengkan kepalanya. Ia pun langsung mengajak kedua satpam di sisinya dan bergegas keluar dari ruangan Freinz. Meninggalkan Freinz dengan suasana hati buruknya. Freinz pun meraih iPhone di meja. Mencari sebuah contac dan mulai menelponnya.

"Temukan orang bernama Weinza Oktyra Ayodhya Rein segera! Bagaimanapun caranya, kamu harus menemukannya! Dan saya tunggu secepatnya sebelum malam! Kalau tidak, kamu akan saya pecat!" Freinz mematikan panggilan secara sepihak. Memasukkan iPhone ke dalam saku dan bergegas keluar dari ruangan menuju tempat parkiran. Melajukan mobilnya menuju sebuah tempat.

☕☕☕

Kring

Terdengar suara lonceng yang mengisi kesunyian kafe berinterior monokrom itu. Yah, bagaimana pun, kafe ini tidak pernah berubah dan terus ramai pengunjung. Sekalipun Freinz tidak bertandang dan menikmati ekspresso buatan Enza, kafe ini akan selalu ramai. Tak mau berlama-lama lagi, Freinz bergegas menghampiri kasir dan memesan sebuah espresso. Apakah Enza sedang sibuk bekerja di kafe? Hingga tak sempat berkunjung ke tempatnya?

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang