28. Terakhir kali

28 4 0
                                    

Enza mengayun-ayunkan kedua kakinya di Ruang Tunggu. Menunggu kedatangan seseorang yang sedari tadi sudah ia tunggu sejak sejam yang lalu. Mengingat sosok tersebut sedang melakukan rapat dengan para dewan direksi.

"Tumben kamu ke perusahaanku gak bilang-bilang," ucap sang lelaki datar. Melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 13.00, yang artinya ia masih memiliki waktu untuk beristirahat.

"Kan aku mau ngasih kejutan, Sayang. Dah yuk, maksi." Freinz mengerutkan kening tidak mengerti. Enza terkekeh dan mengamit tangan Freinz. Menariknya keluar perusahaan.

"Makan siang, gitu aja gak tahu. Kudet ih!" Enza terkekeh sembari terus menggengam tangan Freinz. Mengayun-ayunkan layaknya menggenggam tangan anak kecil. Membuat Freinz mendengus.

Mereka pun menyebrangi jalan dan terus melangkah hingga sampailah mereka di sebuah kafe klasik dengan interior zaman penjajahan.

"Kamu mau minum apa? Kopi?" tanya Enza tatkala mereka sudah duduk di dekat jendela. Menampilkan keramaian jalan raya dan juga perusahaan Orlandz. Freinz menganggukkan kepala. Membuat Enza mendesah dan menurut. Memanggil pelayan dan mulai memesan.

Yah, namanya juga Freinz. Pasti kalau disuruh antara air putih, teh, atau kopi. Pasti ia akan memilih kopi. Dan itu pasti! Freinz tampak sibuk memainkan iPhonenya membuat Enza mendengus dan menatapnya tajam. Setajam mata elang. Merasa diabaikan. Freinz pun melirik ke arah Enza. Dirasanya gadis di hadapannya mulai menunjukkan gejolak apinya. Mau tidak mau, Freinz meletakkan iPhonenya dan melipat kedua tangan di depan dada. Menatap Enza secara saksama.

"Kamu hari ini ada acara gak?" tanya Enza mencari tahu. Freinz menaikkan alis kanannya.

"Kenapa? Mau ngajakin jalan, hm? Setelah 2 minggu lamanya gak ketemuan," sindir Freinz sembari menatap Enza tajam. Enza menggaruk tengkuknya. Mengalihkan pandangannya sembari terkekeh.

"Ehe ... Maaf ya, Freinz. Aku gak sengaja kok. Lagi pun, setiap malam kan kita udah video call, teleponan, kirim pesan. Masa masih kurang?" tanya Enza sembari mengacungkan tangan membentuk angka 3. Freinz mengulurkan tangannya. Menekuk ketiga jari Enza dan menggeleng.

"Gak! Aku butuhnya Enza asli. Bukan Enza tampilan layar. Kalo yang asli kan bisa aku cubitin pipinya," ucap Freinz sembari menarik kedua pipi Enza gemas. Enza mencebikkan bibirnya dan melepas kedua tangan Freinz. Freinz sendiri juga tampak terkekeh dengan kedua lesung pipinya yang menawan.

"Ih, nyebelin banget! Kalo pipiku tembem gimana? Nanti, gak cantik lagi," gerutu Enza sembari mengusap-usap kedua pipinya. Freinz menghela napas. Meraih kedua pipi Enza dan menangkupnya.

"Siapa bilang? Bagiku, kamu adalah bidadari yang tercantik di dunia. Mau aku buktiin?"

"Buktiin? Gimana?"

"Ya ... Kamu tunggu saja sampai kamu siap." Enza mengerutkan kening tidak mengerti.

"Hah? Kenapa harus nunggu aku siap?"

"Karena nanti kamu akan menjadi bidadari ketika kamu pakai baju pernikahan kita nanti."

Blush

Tanpa aba-aba, pipi Enza merona. Membuat Enza tersipu malu dan cepat-cepat menyingkirkan kedua tangan Freinz. Freinz terkekeh dan mencunit pipi Enza sangat gemas. Sebelum akhirnya pesanan mereka datang dan mereka pun mulai makan bersama..

"Oh, ya. Soal tadi, bagaimana?" Freinz melahap daging steaknya.

"Bagaimana apanya?" Enza menghempaskan alat makannya dan menegak jus jambunya.

"Gak usah sok pikun." Freinz termenung. Sebelum akhirnya ia berucap 'oh' dan mulai menghubungi seseorang.

"Batalkan semua acara hari ini!" ucap Freinz tegas tatkala panggilan telepon tersambung. Enza menajamkan pendengarannya dan menatap Freinz sinis. Sesekali Freinz melirik Enza dan terkekeh. Melihat bagaimana cemburunya kekasihnya tersebut.

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang