24. Camer?

27 4 0
                                    

Tik tok tik tok

Suara denting jam terdengar memenuhi ruangan berukuran 20×15 meter itu. Tak ada satu pun yang berbiacara seiring berjalannya waktu. Hanya ada suara jam sekaligus air mancur—luar ruangan—yang mengisi keheningan. Enza sendiri tampak gugup. Ia menggenggam erat kedua tangannya. Meremasnya sekaligus melampiaskan rasa gugup dan tidak nyamannya di sana. Membiarkan cucuran keringat menderas di sekujur tubuhnya. Membuat bedaknya perlahan luntur.

"Apa pekerjaan ayah kamu?" tanya Elsa mewawancarai Enza. Enza menundukkan kepala dan menjawab.

"Seorang ustadz sekaligus pemilik bisnis kafe."

"Apa? Ustadz?" tanya Elsa dengan nada naik satu oktaf. Tampak ada keterjutan dari raut wajahnya bersamaan dengan kedua mata yang kian memerah petanda hal buruk akan segera terjadi.

"I—Iya, namanya Ustadz Hasan Rein."

"Rein? Sepertinya saya pernah mendengar nama itu. Apakah kakekmu adalah Muhammad Adam Rein?" Enza terhenyak. Apa? Bagaimana bisa ayah Freinz mengetahui nama kakeknya? Atau jangan-jangan mereka adalah seorang penguntit?

"Um ... Benar."

Brak

Williem menggebrak meja di depannya dengan keras. Membuat seluruh penghuni di ruangan itu bergetar ketakutan. Mengetahui betapa besarnya amarah Williem, yang terbukti dengan rahangnya yang kian mengeras bersama dengan suara gemeletuk gigi.

"Jadi, kakek kamu adalah ustadz penipu itu? Masih bisa pasang muka ternyata. Tidak! Saya tidak membiarkan kalian menikah. Tidak akan!" ucap Williem sengit. Freinz terhenyak. Menatap sang papa tidak percaya.

"Kenapa? Bukannya papa selalu mendukung keputusan Freinz?"

"Tapi, tidak untuk ini. Asalkan kamu tahu, karena kakeknya, kita jadi hidup tidak terarah, Freinz. Dia berani-beraninya menipu papa dan pergi begitu saja. Membiarkan papa kesal dan meragukan akan keberaan Allah. Kamu tahu atau tidak, hah?" bentak Willem sembari menunjuk Freinz geram.

"Pa, bagaimanapun, itu bukanlah kesalahan Enza. Melainkan kesalahan kakeknya. Ia tidak perlu mendapatkan ganjaran hanya karenanya, Pa! Mau sampai kapan Papa membenci kakeknya?"

"Sampai keturunannya mati!"

Deg

Keringat Enza semakin mengucur deras. Bersamaan dengan rasa sakit yang diterimanya. Mengetahui tidak adanya restu yang diberikan papa Freinz untuknya. Membuat hatinya remuk redam hanya karena kebenciannya kepada sang kakek yang selama ini tidak ia ketahui.

"Maaf, mungkin selama ini Om salah paham. Kakek saya tidak pernah melakukan hal keji seperi itu."

"Mau melawan ya, kamu?" bentak Willem tak tertahankan. Enza menepuk dadanya—mengucap istigfar. Berusaha menenangkan diri sekaligus mencari titik terang dari permasalahan sang kakek. Tiba-tiba saja ia teringat akan kisah kakeknya yang masih memiliki utang maaf kepada seorang mualaf atas ketidakhadirannya mengajar beberapa minggu karena kecelakaan yang menimpanya.

"Sebegitu banyak kah utang kakek? Sampe kakek saja tidak bisa membayarnya." tanya Enza kepo tatkala kakeknya mengatakan jika ia memiliki sebuah utang dan tak ingin jika utang tersebut tidak lunas hingga ajal menjemputnya.

"Bukan banyak lagi, tapi besar."

"Apa bedanya besar dan banyak kakek? Perasaan, sama saja."

"Tentu beda, banyak itu berhubungan dengan jumlah. Dan biasanya itu uang. Sedangkan besar, itu tidak selalu berkaitan dengan uang. Tapi, perbuatan yang bisa saja memiliki dosa besar. Dan kakek tidak mau memiliki penyesalan dan dosa besar itu."

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang