6. Rindu

64 15 0
                                    

Tak peduli dari mana kamu berasal. Hubungan tak pernah memandang asal muasalmu maupun hubungan darah yang terjalin di antara keduanya. Hubungan bisa terjalin tanpa ada keduanya

☕☕☕

Tiba-tiba saja, hatinya berdesir. Hingga, Freinz tersadar dari lamunannya. Dengan cepat, ia menjauhkan dirinya dari Enza dan meraih espresso miliknya. Berusaha untuk menutupi kegugupan.

"Um ... maaf, bagimana dengan tanganmu? Apakah sudah membaik?" tanya Enza mencari topik. Freinz berdeham dan mengangguk.

"Lebih baik."

"Oke, baiklah." Enza pun menarik buku pembukuan kafe dan kembali mengerjakannya dengan tempo lebih cepat. Ia sendiri ingin agar tugasnya cepat selesai dan bisa pulang ke rumah. Freinz terdiam dan terus mengamati Enza yang sibuk menulis dan menghitung di kalkulator. Mengamati setiap tulisan yang ia tulis.

"Masih banyak?" tanya Freinz dengan dingin. Enza mendongak dan menggeleng.

"Tidak, gue hanya tinggal menjumlahkannya saja," jawab Enza sekenanya. Freinz mengangguk hingga Enza bersorak gembira.

"Alhamdulillah, selesai juga tugasku." Enza menarik jari-jarinya. Meregangkan otot jari dan tangan. Freinz pun menarik buku itu dan mulai membacanya dengan teliti.

"Ada apa?" tanya Enza ketika Freinz menunjuk buku miliknya.

"Ini angka 7?" tanya Freinz sembari menunjuk deretan angka yang tertera di buku. Enza mengamatinya dan mengangguk. Sedangkan Freinz terdiam dan menatapnya dingin. Seolah-olah, ia telah melakukan kesalahan.

"Apakah ada yang salah?" Freinz menganggukkan kepala.

Sontak, Enza menarik paksa buku itu dan membacanya dengan teliti. Perasaan, tidak ada yang salah. Lalu, di mana kesalahannya? Apakah mata Freinz sudah mengabur mengingat ia sudah tua. Ah, pasti gara-gara itu.

"Perasaan bener kok. Ini, angka tujuhnya juga udah bener," jawab Enza sembari menatap keduanya bergantian. Freinz mendengus.

"Jangan pakai perasaan, lebih teliti lagi!" titah Freinz lagi. Enza menggeram kesal. Kesal akan tingkah Freinz.

"Apa sih? Udah bener juga. Lo aja yg salah," sungut Enza tak mau kalah. Freinz menghembuskan napas dan kembali menunjuk tempat sebelumnya.

"Iya, itu udah bener." Freinz mengerutkan kening. Lalu, beralih ke nomor-nomor yang tertera di tabel.

"Ada apa emang sama nomornya? Perasaan udah urut," racau Enza. Kesal. Itulah yang dirasakan saat ini. Dengan nada tegas, Freinz berucap.

"Coba perhatikan kolommu!" titah Freinz yang kini lebih tegas dari sebelumnya. Enza berjengit. Kenapa dia marah? Bukannya dia yang seharusnya marah? Persetanan dengan itu, Enza menurut dan membaca.

"Kenapa? Bener kok ini udah urut dari 1 sampai 8." Freinz menjentikkan jari dan kembali menujuk ke pembagian dengan angka 7 itu.

"Ini?"

"7."

"Lalu, apakah sama?" Enza terbelalak dan kembali menatap buku miliknya dengan wajah serius.

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang