32. Kehilangan

61 5 0
                                    

Setelah berjalan begitu jauh, Enza pun akhirnya bisa melepas tangisnya. Menangis tersedu-sedu di sebuah lorong di samping kafe. Sepi, tapi tidak berbahaya. Ia pun mengeluarkan iPhone miliknya dan mengamati nomor ponsel Freinz yang selalu tersimpan rapi di iPhone dan buku catatannya. Tak pernah sekalipun ia membiarkan deretan angka itu hilang. Bagaimana pun caranya!

Tanpa diminta, jemari lentiknya beralih pada galeri dan membuka sebuah album berjudul 'My Love'. Menampilkan deretan foto dua lelaki yang sangat dicintainya. Salah satunya adalah lelaki yang baru saja ia temui dan seorang batita imut nan polos. Entah berapa banyak foto yang dimiliki olehnya. Akan tetapi, ia berharap bahwa foto-foto tersebut bisa menghantarkan dirinya kepada kedua lelaki tersebut dan menyampaikan pesannya kalau ia sangat mencintai mereka.

Terbukti dengan dirinya yang mengalami penderitaan yang sama dengan mereka. Di balik gamisnya yang longgar, terdapat badan yang mulai mengurus sejak tiga bulan lalu. Hal itu terjadi karena ia yang tidak memperhatikan tubuhnya sendiri dan terus memaksakan diri untuk terus menghafal Al Quran. Sesekali ia hanya mengonsumsi roti ataupun susu yang diberikan pihak asrama kepadanya. Tentu, pihak asrama melaporkan dirinya kepada Hasan dan juga Riza berkat aksinya yang mogok makan di asrama.

Akan tetapi, Enza tetap kukuh dan tidak ingin makan. Ia hanya ingin cepat-cepat menunaikan janjinya dan kembali bertemu Freinz serta Thel. Bahkan, Enza rela dimarahi oleh Hasan. Hingga Hasan pun mengambil keputusan dengan menolak hubungannya dan Freinz.

Enza kembali mengulang hafalannya yang kini sudah berada pada juz 16. Yang artinya masih ada setengah juz lagi menuju mahkota surga. Entah sudah berapa hari ia mengurung diri di kamar bersama para santriwati, yang kebanyakan adalah seorang mahasiswi. Tak heran, dikala mereka sedang kuliah, Enza akan sendirian di kamar. Dan kesempatan itu pun tidak ia sia-siakan. Segera saja, ia mengambil Al Quran hafalannya dan mulai menghafalkannya.

Sudah sebulan lamanya ia di sini. Dan selama itulah ia jarang sekali makan ataupun turun ke bawah 'tuk sekadar mengantre makanan. Toh, buat apa menghabiskan waktu yang tidak berguna untuk mengantre? Mending juga membeli makanan cepat saji yang bisa kita makan kapan saja. Bahkan sambil menghafalkan Al Quran sebagaimana tujuannya untuk mondok. Masih ada kesempatan dua bulan lagi untuk ia mendapatkan mahkota surga. Dan Enza yakin, ia pasti bisa melakukannya. Pasti!

Tiba-tiba, ulasan senyum Enza surut. Tatkala pintu kamarnya terbuka. Menampilkan seorang wanita paruh baya berkepala empat—yang ia kenal dengan sebutan ustadzah datang bersama sepasang suami—istri yang sudah tidak asing lagi bagi Enza.

"Enza, kamu kenapa? Kamu tidak apa-apa kan? Kata Ustadzah Aisyah, kamu tidak pernah makan, ya? Kenapa?" panik seorang wanita paruh baya sembari merankum kedua pipi tirus Enza. Enza menggelengkan kepalanya.

"Nggak, Mi. Enza baik-baik saja," ucap Enza berusaha menyembunyikan kondisi tubuhnya yang sebenarnya.

"Baik? Kamu mau coba membohongi Abi lagi?" bentak Hasan kalut. Aisyah yang paham akan kondisi pun bergegas undur diri dan menutup pintu kamar. Agar nantinya pembicaraan ketiganya tidak didengar oleh orang luar.

Enza menundukkan kepalanya dan menggeleng.

"Tidak, Bi. Enza baik-baik saja. Nih, lihat, Enza masih kuat berdiri lama-lama kok. Lagian, Enza juga udah wujudin kemauan Abi dan sekarang udah selesai setengah Al Quran. Hebat bukan?" jelas Enza sembari berdiri dan menggenggam Al Quran di tangan kanannya. Menunjukkannya tepat di hadapan Hasan. Seolah-olah, ia sedang membanggakan dirinya di hadapan sang abi.

Namun, tidak lama, Enza merintih kesakitan dan kembali terduduk di kasur. Terus menyentuh perutnya dengan wajah yang kini pucat pasi.

"Ya Allah, Enza. Sini, Umi lihat dulu." Segera saja Riza mengulurkan tangannya dan menyentuh kening Enza dan kedua pipinya.

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang