13. Bayangan

24 4 0
                                    

"Enza? Tumben sudah pulang. Biasanya pulang malam-malam. Kok jam segini sudah pulang." Enza melangkah lunglai masuk ke dalam rumah. Tak dipedulikan lagi ucapan sang umi. Yang pasti, ia ingin segera pergi ke kamar dan memejamkan mata. Berharap, di keesokan hari, ia bisa memulai kehidupan tanpa kehadiran Thel.

"Umi, Enza kenapa?" tanya Hasan khawatir.

"Nggak tahu, Bi. Sejak pulang tadi wajahnya cemberut begitu. Oh iya, Abi mau teh?"

"Boleh."

Enza terus mengguling-gulingkan badannya ke sana kemari. Mencari ketenangan diri dan berharap bisa tertidur. Namun, bayangan akan sosok Thel tak kunjung menghilang dari benaknya. Bayangan itu justru kian memperbesar dan jelas. Membuat Enza geram bukan main.

"Oh, ayolah ... Kamu pasti bisa Enza. Pasti bisa! Jangan dipikirin lagi. Ingat! Dia— Argh." Enza meringis kesakitan ketika punggungnya tidak sengaja mengenai sesuatu. Ia bangkit berdiri dan menarik selimutnya. Menemukan dua mobil mainan kecil milik Thel di atas kasur. Di dalam hati, ia tersenyum bahagia. Akhirnya, ia bisa menemukan cara untuk bertemu dengan Thel.

Tak ingin membuang-buang waktu, Enza bergegas keluar dari kamar dan turun dari tangga secepat kilat. Riza yang melihat Enza tergesa-gesa pun mulai dilanda khawatir. Ada apa dengan Enza? Dan mau pergi kemana perempuan itu?

"Enza, kamu mau ke mana?"

"Ini ... Mau nganterin mainan Thel, Mi. Maaf kalo Enza pulang agak terlambat. Enza berangkat dulu," ucap Enza cepat sembari menunjukkan mobil mainan Thel.

Brak

Enza masuk ke dalam mobil jazz hitam dan melajukannya menuju apartemen Freinz. Masa bodoh jika ia kena marah atas tindakannya. Yang terpenting, ia bisa bertemu Thel dan menghabiskan waktu bersama batita mungil itu.

Tak butuh waktu lama, Enza sampai di apartemen Freinz. Berbekal keberanian yang ada, ia segera masuk ke dalam lobi. Bersiap masuk ke dalam lift. Belum sempat ia memasuki lift, seseorang telah lebih dulu mencegahnya. Enza meronta akan tetapi, pria tersebut tetap menahannya dan tidak mengizinkan Enza masuk.

"Maaf, anda siapa? Apakah anda penghuni apartemen ini?" tanya pria tersebut sopan.

"Bukan, saya ingin bertemu dengan teman saya."

"Teman? Kalau boleh tahu, siapa teman anda?" Enza terdiam. Berusaha mengingat-ingat nama dari papa Thel.

"Um ... Freinz. Ya, namanya Freinz."

"Oh, Tuan Freinz. Sebentar, saya telepon dia dulu. Memastikan jika anda benar-benar temannya." Enza mendengus. Memang ya, orang kaya itu banyak alasannya. Sukanya menyulitkan urusan orang saja.

Tak bisa menahan kesabaran lebih lama lagi, Enza menyerobot masuk ke dalam lift dan segera memencet tombol tutup. Menghiraukan teriakan penjaga apartemen.

Ting

Pintu lift terbuka. Enza mengibas-ngibaskan pakaiannya dan berjalan santai menuju apartemen Freinz. Dirasa benar nomornya, Enza mengetuk pintu dan menunggu pemilik apartemen. Pintu terbuka. Menampilkan seorang perempuan cantik berbalut daster. Mata Enza tiba-tiba saja membola. Seiiring mainan bawaannya yang jatuh ke lantai.

"Maaf, anda siapa?" tanya Grez lembut kepada Enza. Enza tersadar dan memungut mainan Thel. Dengan gugup, ia menggatuk tengkuk dan mengintip dalam apartemen Freinz.

"Um ... Freinznya ada? Saya ingin bertemu dengannya."

"Maaf, kebetulan Tuan Freinz sedang pergi. Anda ke sini, mau mencari beliau ada maslah apa, ya?"

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang