20. Fitnah

25 4 0
                                    

Enza memandangi jalanan luar kafe. Menopang dagu sembari melirik jam dinding. Apakah benar pesannya tidak terkirim? Perasaan, kemarin sudah dibaca oleh Al. Lalu, dimana sosok tersebut? Ah, mungkin saja dia sedang ada urusan penting.

"Baiklah, gue akan nunggu dia lagi. Semoga aja, dia mau dengerin penjelasan gue. Aamiin."

Setengah jam berlalu ....

Orang yang sedari tadi ditunggu Enza pun datang. Menampakkan dirinya dengan pakaian casual khas anak zaman now. Celanan jeans selutut dengan kemeja putih. Serta tas selempangan bermerkan Gucci. Barang asli dari brand tersebut.

"Al!" panggil Enza sembari mengacungkan tangan. Bukannya menghampiri Enza, sosok tersebut malah menemui seorang gadis yang tampak asing di mata Enza. Enza bangkit berdiri dan menghampiri Al.

"Al, gue kan mau—"

"Hahaha, bener banget." Enza mengerutkan kening bingung.

"Lo siapa?" tanya Enza kepada sosok yang duduk di hadapan Al.

"Maaf, anda siapa?" tanya wanita tersebut sopan.

"Gue tanya elo, kenapa lo balik nanya gue?" sewot Enza dengan nada tinggi. Tidah habis pikir pada perempuan yang ada di hadapannya.

"Oh, gue Ifa. Sahabat Al," jawab Ifa sombong sembari mengulurkan tangan. Enza melongo.

"Apa? Ngaku-ngaku aja lo! Sejak kapan lo jadi sahabatnya? Yang ada gue kalik! Gak usah mimpi napa?" gertak Enza kasar. Tanpa sadar, mengundang sorot perhatian pengunjung. Ifa menyunggingkan senyum. Kembali menarik uluran tangannya.

"Cih, lo aja kalik yang ngaku-ngaku. Gue sama Al kan udah sahabatan sejak lama. Lo aja yang nghancurin hubungan kita. Dasar perusak!"

"Bullshit! Fitnah banget deh jadi orang."

"Maaf, ya. Gue gak mau ngomong sama orang songong kayak lo. Jadi ...." Ifa memotong ucapannya. Sebelum akhirnya menepuk kedua tangannya.

Prok prok prok

"Satpam! Usir dia dari sini! Dia udah maling tas saya! Tolong, Pak!" teriak Ifa dengan suara keras. Enza melongo. Kesal sekaligus tidak terima sudah diperlakukan rendahan seperti itu. Ia mengepalkan tangan kuat. Ingin memukulnya sekuat tenaga.

Namun, belum sempat ia melesatkan pukulannya, kedua satpam tersebut sudah terlebih dulu mencekal kedua tangannya. Membuat Enza memberontak, tak ingin ditahan.

"Shit! Pelacur lo!" maki Enza sembari terus berusaha melepas cekalan kedua satpam tersebut.

"Ayo, Teh. Ikut saya ke kantor polisi." Enza mengerutkan kening. Kenapa dia harus dibawa ke kantor polisi? Sedangkan dia sendiri adalah seorang korban.

"Tapi, atas tuduhan apa? Dia pembohong besar, Pak! Kalo gak percaya, Bapak bisa tanya sama sahabat saya, Al. Dia menjadi saksi di sini, kalau saya tidak mengambil tasnya. Ngapain juga saya ambil tas murahnya. Kalau saya sendiri bisa beli yang lebih mahal dan keren."

"Apakah betul, Teh?" tanya satpam tersebut kepada Al. Enza menatap Al lamat-lamat. Yakin jika sahabatnya tidak akan membohonginya. Namun, ucapan yang dikeluarkan Al membuat harapannya itu hancur berkeping-keping. Hatinya terasa remuk redam bak disayat belati. Pikirannya berkecamuk bingung. Melihat perubahan Al.

"Benar, dia pencurinya, Pak. Tadi, saya melihatnya dengan mata saya sendiri. Diam-diam mengambil tas sahabat saya."

"Al, kok lo ngdukung dia sih? Dan apa tadi? Sahabat? Sejak kapan kita punya sahabat kayak dia?" Enza mengacungkan tangan ke arah Ifa. Menatap Ifa penuh emosi. Ifa menampilkan smirk devil. Memandang rendah Enza.

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang