3. Jumpa

91 17 44
                                    

Jika memang kita diberikan amanah, maka jalankanlah amanah tersebut dengan lapang dada dan penuh tanggung jawab. Insyaallah, Allah akan membantu kita dalam menjalankan amanah tersebut

☕☕☕

"Oke, kalo begitu kamu mandi, habis itu makan. Oh, iya—"

"Enza, bisa minta tolong gak?" pinta Quinza sembari memelas.

"Um ... Maaf, Umi." Quinza menunduk bersalah karena telah memotong pembicaraan Riza yang sedari tadi menemani Enza dan Hasan hafalan di Ruang Keluarga.

Quinza tidak tahu jika sang umi sedang berbicara dengan sang adik. Ia tadi terburu-buru mengingat ada suatu hal yang harus ia sampaikan. Hingga akhirnya, setelah ia tadarus tadi, ia langsung melenggang menuju Ruang Keluarga. Menyampaikan semua pemikirannya, tanpa mengetahui jika Riza sedang berbicara dengan Enza.

"Iya, gak papa kok." Riza mengulas senyum memaklumi.

"Memang, kamu mau ke mana Inza?" tanya Riza heran kepada Quinza. Quinza menghela napas sejenak.

"Mau ketemu sama Raini, Mi. Membeli persediaan kafe."

Riza menganggukkan kepalanya mengerti. Ia paham, jika Quinza harus membeli persediaan kafe setiap sebulan sekali. Memastikan semua persediaan tersedia di Kafe Rein. Lalu, kenapa tidak Enza saja? Tentu, Enza tidak akan pernah mau untuk keluar dan membeli persediaan kafe. Karena dirinya yang malas pergi keluar selain ke mal. Apalagi membeli persediaan kafe. Membosankan! Karena alasan itulah, Quinza harus turun tangan untuk membelikannya.

"Mau kan, Nza?" tanyanya dengan nada berharap tatkala ia kembali menatap Enza. Enza menghela napas dan mengangguk.

"Iya, Enza mau. Kalo begitu, kuncinya di mana, Kak?"

"Bukannya kamu sudah punya?" Enza tersadar.

"Eh, iya, ada. Enza lupa, kalo begitu, Enza ke atas dulu ya, Bi, Mi, Kak." Enza berjalan menuju tangga dan mulai menaikinya satu persatu.

☕☕☕

Enza mengendarai mobil kesayangannya dengan kecepatan sedang. Tak butuh waktu lama, ia telah sampai di Kafe Rein. Dan ia pun turun dari mobil dan berjalan menuju pintu kafe. Tiba-tiba saja, pandangannya teralihkan tatkala ia telah berhasil membuka pintu kafe dan menemukan sosok lelaki sedang berjalan ke arahnya. Seketika, matanya membulat terkejut seiring mendekatnya sosok tersebut.

'Kenapa ia sudah tiba sepagi ini? Apakah ia melupakan sesuatu?' tanya Enza di dalam hati.

Lelaki tersebut tampak acuh tak acuh akan pandangan aneh Enza. Ia justru memasukkan kedua tangannya di saku celana dan mengerutkan kening. Aneh. Satu kata yang muncul di pikirannya. Enza terkesiap, ia berusaha untuk merubah raut keheranannya dan berdeham.

"Ekhem, ngapain lo ke sini? Mau berantem sama gue?" tanya Enza sembari mengangkat kedua alisnya.

Pertanyaan macam apa ini? Sudah jelas-jelas ia mau minum kopi. Lalu, untuk apa bertanya? Ya kalik saja ia mau beli buku. Emang, ini toko buku apa? Lelaki itu ternyata Freinz. Freinz mengacuhkan Enza dan memilih masuk ke dalam kafe. Dengan tergesa-gesa, Enza menyusul Freinz sembari berteriak.

"Woi! Gak tau sopan santun lo! Berhenti gak!" cerca Enza kesal semari berlari mengejar Freinz dengan langkah lebarnya. Freinz tak mengubris perkataan Enza dan lebih memilih duduk di depan tempat para batender beraksi.

Secangkir Kehangatan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang