Chapter 24 · Filsuf

5.6K 767 111
                                    

🥨
____________________

'Lisa, Lisa! Cepat terima cintaku, kalau tidak... Wendy akan membawaku pergi!' Raka dengan pakaian serupa Princess Peach berteriak dari atas menara batu. Aku panik seketika, mencoba melompat setinggi-tingginya, tapi menara itu begitu tinggi tak terjangkau.

'Ha-ha-ha! Kau tidak akan pernah bertemu Prince Raka lagi, Elizabeth! Dia sekarang sudah menjadi milikku! MUAHAHAH!!" Ciwen dengan pakaian overall berkaus hijau serupa kostum Luigi tiba-tiba muncul dari atap kastil, mengendarai naga kura-kura. 

'Oh tidak! Prince Raka, tunggu aku!'

Aku semakin panik, melompat lagi, dan kembali gagal. Baru saat itu kusadari ada kumis melingkar di wajahku, dengan pakaian overall biru berkaus merahaku menjadi Mario! Detik itu juga muncul jamur merah bertitik di hadapanku. 

Yes, Power Up! Aku segera mengunyah jamur itu, dan lompat tinggi-tinggi. Berhasil, aku terbang!

Sesampainya di puncak menara, tak kutemui adanya Prince Raka dan Ciwen berkostum Luigi. Hanya satu catatan yang muncul dari udara kosong, berbunyi :

'Selamat, Lisa! Tapi sayang, kamu terlambat!
Prince Raka telah berada di kastil yang lain!'

Teret-tet-tet-terereet.. GAME OVER!

Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Mimpi sialan!

🥨

Mereka bilang, mimpi adalah bunga tidur. Mimpi tidak bisa menyakitimu. Tapi, ada yang bilang juga bahwa mimpi adalah projeksi alam bawah sadar yang terpendam dalam-dalam. Apa yang tidak kamu ungkapkan di dunia nyata, akan timbul dengan sendirinya ketika kamu terlelap.

Apapun itu, bodo amat!

Pagi itu aku terbangun dengan mood berantakan, sebab matahari belum genap terbit, tapi kantukku sudah hilang sepenuhnya. Aku mengalami sleep deprivation seketika, kekurangan tidur. Jam istirahatku kacau karena belum genap terlelap selama 6 jam. 

Lantai dapur yang dingin menyambut telapak kaki telanjangku. Aku menuangkan air panas kedalam gelas, mencelupkan teh berbenang dan mengaduknya pelan. Warna kecoklatan menyeruak dalam beberapa detik, membuatku tak tahan untuk menghirup aromanya sejenak. 

Satu kebiasaan yang sering muncul mengusik kesadaranku. Segera, aku mencari minyak kayu putih dan meneteskan tiga-empat tetesan kedalam tehku. Kuhirup lagi, aromanya. Hmmm, segar. 

Aku menyeruput minuman ajaibku itu. Hangat. Tak ada rasa pahit atau getir dari minyak kayu putih yang kucampur, hanya sensasi hangat dan aroma yang unik. Sejauh research-ku di jagad maya, minyak kayu putih memang berbahaya jika diteguk langsung, tapi jika hanya beberapa tetes begini, okelah. Buktinya aku masih hidup, kan?

Langkah kakiku kembali menuju kamar terhenti saat melewati ruang tengah. Semarak bunyi instrumental gitar berpadu genderang dan bunyi-bunyian 'heyyyaaaa eyeee' panjang menyentuh telingaku. Itulah potongan intro dari lagu yang belakangan sering didengarkan oleh Papa. 

Ah, Papa! Dia pasti sudah bangun. Kebiasaannya adalah duduk pagi-pagi sambil meminum teh dan membaca surat kabar, menghadap halaman belakang yang luas. Tanpa pikir panjang, aku melangkahkan kaki menuju pintu belakang. Papa duduk disana, di tempat favoritnya. Sambungan lirik lagu menyambut saat aku mendudukkan bokong di kursi kosong sebelah Papa.

'Wahai kau budak dunia
Cintailah bijaksana
Dengan penuh kesadaran pahami dirimu sendiri'

Cooking Space (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang