Chapter 41 · (Rumah Duka)

4.9K 731 46
                                    

🥨

____________________

'They say that every day, the universe expands,
and we discover certain things that we don't understand...'

Suara narator saluran Going Spaceward berkumandang dari TV layar datar yang tertempel di dinding.

Kamar steril itu bernuansa putih dan beige, dengan dengungan pendingin ruangan yang mengembus konstan.

Elizabeth Moelyadi terbaring di atas kasur dengan tumpukan bantal dan selimut yang membungkus tubuhnya. Seragam koki bernoda lumpur sudah berganti menjadi piyama yang dibawakan oleh Mama Melda beberapa jam lalu. 

Disampingnya, terdapat Raka yang sibuk memperhatikan sesuatu di layar ponsel. Pemuda itu tampak fresh setelah pulang untuk mandi dan ganti baju juga. Kini, kaos abu tua dan celana jogger berwarna dongker tampak santai memeluk tubuh si sulung Mahardika.

Lisa berusaha menggerakkan kakinya, perlahan. Gadis itu bisa merasakan denyutan ngilu dari otot yang baru terbenahi posisinya. Tapi tidak seberapa parah dibandingkan beberapa jam lalu, saat cedera kaki itu masih segar.

"Masih sakit?" tanya Raka yang duduk di sisinya. 

Lelaki itu melirik sesekali dari atas ponselnya yang terbuka. Kepala dapur itu masih sibuk dengan gadget-nya.

"Udah nggak terlalu. Kata Mbah Tum, besok harusnya 'dah bisa jalan."

"Oh, baguslah."

Dan Raka pun kembali menekuri layar datar itu.

"Kamu lagi ngapain sih?" Lisa mulai kepo.

"Ini, ngecek rekapitulasi harian resto hotel. Pak Seno tadi pagi belanja scallop banyak banget. Untung kejual semua." Raka mengembuskan napas lega sambil memasukkan ponselnya kedalam saku.

"Oooohh." Lisa mengangguk paham.

"Kenapa? Kamu nggak suka dicuekin ya?" Raka mulai memperhatikan gadisnya.

Pemuda itu duduk menghadap Lisa dan mulai mengambil sejumput rambut gadis itu, memilinnya di antara jemari telunjuk dan ibu jari. Kebiasaan lama. Lisa yang sudah paham, membiarkan rambutnya disandera.

"Bukan. Aku cuma gabut banget, bosen..."

"Mmmm."

"Ka."

"Ya?"

"Ceritain dong."

"Cerita apa? Dongeng si Kancil?"

"Bukan. Ceritain apa yang belum sempet kamu ceritain, semuanya. Alasan kamu ngilang—dulu, terus jodoh-jodohan absurd ini, hubungan kamu sama owner hotel... pokoknya se-mu-a-nya."

Raka terdiam sedetik, pilinan jemarinya terjeda.

"Oke," jawab Raka akhirnya. "Saya juga udah berencana ngasih tau kamu semuanya, cuma timing-nya kacau terus..."

.
.
.

... 3 tahun lalu.

Langit diteduhi mendung saat Raka dan Ayahnya melangkah meninggalkan pemakaman. Dalam hati, Raka menghitung setiap langkah kakinya yang berjalan menjauh dari makam Ibunya.

"Lima... enam... tujuh..." Raka hendak meneteskan air mata kembali, mengingat dirinya adalah orang terakhir yang berjalan di belakang.

Kepercayaan mengajarkan raka bahwa setelah tujuh langkah peziarah terakhir, Malaikat akan menghampiri jenazah yang dikuburkan. 

Cooking Space (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang