🥨
____________________
Brrr... shh.
Cklek.
Brrmmmm... sshhh.
Batukan starter Vespa berwarna putih polos itu tak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Aku berdecak.
Aku nggak tahu banyak tentang otomotif dan permotoran, tapi yang aku tahu, orang-orang di luar sana sering berkata kalau semakin tua umur motor Vespa, maka semakin mahal harganya.
Menurutku, itu sepenuhnya omong kosong. Pup banteng.
Sebab semakin lama aku menggunakan motor ini, rasanya makin tidak fungsional saja. Makin sering terbatuk-batuk mogok dan berhenti di tengah jalan, makin rewel, dan makin sukses membuatku naik pitam.
Pagi ini, karena panggilan emergency, aku terpaksa harus menjadi doktor Frankenstein yang berusaha menghidupkan kembali monster yang sudah mati.
Ayo dong, Putih, kamu harus nyala. Emergency nih, emergency!!
Brrrr... mm... psshh.
Lagi.
Brrrrrmmmm!! Tretetetet... psssh.
Aaaaaa motor butut sialan! Sumpah nih motor bobrok banget sih. Coba aja yah uang Papa ada banyak, udah aku porotin motor baru dari dulu-dulu!
Aku memandang benda mati itu dengan tatapan menusuk.
Vespa Congo keluaran tahun 1963 ini adalah harta berharga yang dimiliki oleh Kakekku, Kakung Moel, yang diwariskan ke Papa saat beliau kuliah dulu. Setelah pensiun mengabdi pada Papaku, barulah Vespa ini dihibahkan untukku.
Si Congo telah setia melayani tiga generasi keluarga Moelyadi, dan sepertinya sekarang dia sudah mati suri.
"Nyala dong, Putih, plis..." pintaku sambil kembali mencoba starter.
"Brrrssh... ohok, ohok. Kenapa nggak minta jemput pacar kamu yang Chef itu aja, Lisa? Aku udah tua, mau rebahan aja." Kubayangkan suara si Putih menyahut disela mesin yang coba kunyalakan.
"Aduh, Putih... kalau staf kasta sudra seperti aku aja dibikin panik begini, pasti Raka sebagai chef kepala makin ricuh tanggung jawabnya. Aku nggak mau bikin kerjaan dia makin ribet. Aku mau jadi strong independent woman yang nggak nyusahin pacar," kilahku sambil kembali men-starter. Sinting kali aku ya, pagi-pagi ngobrol sama motor.
Putih terbatuk sebentar sebelum mulai menyala.
Brrrrrmm... tretetetet.
Yes!
—Psshh.
Yah... mati lagi.
"Putih! Pokoknya kalo kamu nggak mau nyala, aku pretelin kamu dan aku loakin ke juragan besi tua!"
Ckritt, brmmm... tretetetetet!
Hore! Nyala!
Aku tahan genggaman gas pada kemudi si Putih agar tidak mati lagi, dalam hati aku bersorak riang. Ayo kita berangkat, Putih!
Si Putih Congo melaju keluar dari halaman rumah. Kurasakan letupan janggal saat mulai memasuki jalan raya. Aku coba menepi.
Itu barusan apa ya? Hey Putih, kamu nggak bakal nyelakain aku 'kan?
Kurasakan deruman mesin Putih masih stabil.
Aman lah ya? Amin.
🥨
KAMU SEDANG MEMBACA
Cooking Space (𝘌𝘕𝘋)
RomanceSetelah dua tahun membabu dengan nyaman sebagai Cook Assistant di Celestial Hotel, Lisa, si jenius penggila Astronomi yang fokus menyibukkan diri sebagi kuli kuliner, harus tersandung masa lalunya ketika mendadak ada Head Chef baru yang akan memimpi...