Chapter 40 · (Rumah Sakit)

4.7K 704 74
                                    

🥨

____________________

Raka benci tempat ini. 

Lorong semacam ini, putih dengan pintu-pintu dan jendela berbaris di sisinya. Benci juga bau ini, campuran bau antiseptik dan obat-obatan yang pahit dihirup. Itulah sebabnya tadi Raka hanya mlipir ke klinik saat memeriksakan dirinya, untuk membeli obat. Tidak sampai menjarah begini dalam ke dalam bangunan Rumah Sakit.

Bukan, bukan karena Raka takut jarum suntik, phobia melihat darah, atau alasan remeh lainnya—heck, dia biasa mainan pisau dan ngedel-ngedel perut angsa. Tidak, bukan karena semata tempat ini adalah Rumah Sakit, tapi lebih ke... trauma terpendam yang ia simpan di lubuk sanubari. Ingatan-ingatan yang terjadi di dalam tempat seperti ini. Raka nggak suka.

.
.
.

3 tahun lalu...

Desingan suara pesawat menebas pendengaran Raka Mahardika. Pemuda itu berjalan terburu-buru dengan tas ransel bertengger di punggung, tanpa membawa koper luggage seperti penumpang lainnya.

Raka Mahardika memandang sekeliling, mencari tanda-tanda orang yang akan menjemputnya. Matanya tertuju pada seorang pria berpakaian kasual yang mengangkat papan karton bertuliskan balok : 

'TN. MAHARDIKA' 

Raka segera menghampiri sosok tersebut, ia bisa mengenali wajah ajudan setia ayahnya yang hari itu tak berseragam polisi.

"Saya di sini, Pak, ayo cepat berangkat."

Melihat anak sulung dari Komisaris Jenderal telah muncul di hadapannya, ajudan pribadi itu buru-buru menurunkan papan dan menggiring Raka keluar dari lobi domestic arrival. Mobil dengan mesin menyala menyambut mereka. Dengan tergesa-gesa, dua orang itu memasuki mobil ,untuk kemudian melajumeninggalkan bandara Juanda.

Kepala Raka berdengung akibat efek jetlag, ditambah 46 jam penerbangan dari Miami International Airport, dengan tiga transit melelahkan yang terasa sangat mengulur waktu; O'Hare, Narita, dan Soekarno-Hatta. 

Perjalanan panjangnya terasa lelah berganda, sebab keletihan fisik Raka ditumpuk dengan beban pikiran, membuatnya tak bisa tidur dengan tenang selama di pesawat, dua malam berturut-turut. Mata Raka keruh dan berkantong, raut wajahnya tertekuk dengan air muka yang keruh.

Rasa pahit timbul di belakang lidahnya ketika Raka mengingat telepon mendadak yang ia terima beberapa hari lalu. Untungnya, kapal pesiar Blue Crystal tempatnya bekerja sedang menepi di homeport kota Miami untuk mempersiapkan trip selanjutnya, sehingga Raka bisa lekas cabut dengan alasan 'family emergency'. Tak lebih dari lima hari, waktu yang diberikan kapten Blue Crystal kepada Raka sebelum kapal mereka lepas, meninggalkan daratan Amerika menuju laut Karibia.

Dengan satu tarikan nafas, Raka mencoba menenangkan diri dan mengalihkan perhatiannya, memandang keluar jendela, menembus awan, berharap langit bisa mendengar doanya yang tak putus ia rapal dalam hati sepanjang perjalanan pulang.

"Tuhan, tolong jangan lakukan ini padaku..."

Lorong putih itu bagaikan tak habis-habis, dengan penampakan pintu seragam di kanan kiri jalan, membuat perasaan Raka semakin tak karuan.

Ajudan setia ayahnya yang memandu jalan berhenti di salah depan satu pintu, membuat jantung Raka berdegup tak karuan. 

Satu detik, dua detik... Raka menarik napas, pemuda itu membuka pintu ruang ICU.

Cooking Space (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang