🥨
____________________
There's a starman waiting in the sky
He'd like to come and meet us
But he thinks he'd blow our mindsThere's a starman waiting in the sky
He's told us not to blow it
Cause he knows it's all worthwhile
Saat ini, ballroom Celestian Hotel..
Aku yakin aku baru saja mengalami blackout dadakan sebab jantungku berhenti berdetak selama sedetik. Well, memang agak lebay sih, tapi sumpah—rasanya seperti itu.
"Aku harus pergi dari sini," gumamku ke arah udara kosong sambil merogoh kunci motor di dalam saku jaket,
"Loh, Lis? Mau kemana?" Suara Ciwen menyeruak diantara gemuruh guntur di dalam kepalaku. Rupanya, ia menangkap gerak-gerikku. Aku memandang wajahnya sekilas.
"Mmm... tiba-tiba badanku nggak enak, Ci. Aku skip aja pulang duluan, ya? Tolong ijinkan sama Mas Yus..." Aku menjawab dengan panik, membuat Ciwen memandangi sosokku dari atas ke bawah dengan mata khawatir.
"Mukamu pucet gitu sih. Yawis, pulango. Nanti tak sampaikan ke Mas Yus." Malaikat itu menganggukkan persetujuan yang berbalaskan senyumku, tulus. Aku memulutkan 'terima kasih' sambil melangkah setenang mungkin meninggalkan ruangan raksasa itu.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku bagai dipaksa mengingat memori bertahun silam yang sengaja ku kubur dalam-dalam. Sepertinya, departemen memori dalam lobus temporal bagian cerebrum otakku sedang melakukan protes besar-besaran karena jatah istirahat mereka akan ku korupsi sedikit malam ini.
Nanti dulu ya, otakku sayang. Tolong pendam lagi semua kejadian siang ini dan tahun-tahun sebelumnya.
Rapalan sugesti kulafalkan tanpa vokal, seiring si Putih, Vespa Congo off white-ku memelan dan berhenti dengan letupan kecil dari knalpot, memasuki halaman rumah keluargaku.
Aku membuka pintu ganda ruang utama dengan usaha seminimal mungkin. Oh, masih belum dikunci. Jam dinding ruang tamu menyambut dengan jarum yang menunjukkan angka 11.55.
Hampir tengah malam.Langkah kaki membawaku dengan cepat menuju kamar. Lampu tidur berbentuk miniatur bulan purnama memancarkan cahaya minimalis di sudut ruangan, membatasi penglihatanku.
Dengan helaan napas, aku langsung merebahkan diri di kasur dengan menutup mata—hanya untuk bertabrakan dengan tubuh manusia lain yang memekikkan kata 'aww' pelan. Jantungku mencelos sedetik, sebelum aku sadar siapa sosok yang baru saja kutimpa sebagian diatas kasur.
"Sorry, Git," bisikku pada Gita, sepupu dekatku yang masih setengah tertidur. Aku menggeser badan ke sudut lain ranjang, membiarkan Gita menguasai lebih dari setengah kasurku.
Brigita Cokro, sosialita muda putri konglomerat asal ibukota yang bulan depan akan mendapat gelar Magister Manajemen dari kampus Ekonomi terbaik di kota ini, kembali terlelap sambil memeluk gulingku. Gulingku satu-satunya, hiks...
Aku menghela napas. Gita sudah dua hari menginap di rumahku, dan menjarah kamarku. Ia merasa harus banget tinggal di kota ini untuk mempersiapkan Wisuda-nya akhir bulan nanti.
Desahan napas membantuku mengikhlaskan guling tersayang untuk disandera oleh Gita. Aku tak punya waktu untuk memikirkan kelengkapan atribut tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cooking Space (𝘌𝘕𝘋)
RomanceSetelah dua tahun membabu dengan nyaman sebagai Cook Assistant di Celestial Hotel, Lisa, si jenius penggila Astronomi yang fokus menyibukkan diri sebagi kuli kuliner, harus tersandung masa lalunya ketika mendadak ada Head Chef baru yang akan memimpi...