Chapter 42 · Jadi, Sebenarnya

5.2K 713 72
                                    

🥨

____________________


Udara terasa berat. Bernapas terasa sesak.

"Jadi, Ibu... sudah meninggal?" ulangku dengan bibir yang mati rasa. Raka mengangguk, matanya berkaca. Aku sendiri tak sadar jika wajahku telah banjir oleh air lakrima. Entah sejak kapan.

Raka baru saja selesai menceritakan semua rahasia yang dipendamnya. Otakku mencerna seiring emosi yang meluap seketika.

"Maafin saya, Lisa..." ucap Raka sambil meremas genggaman tangannya pada jemariku.

"T--tapi... waktu itu, saya sempet nganterin ikan lele yang baru dipanen Papa ke rumah kamu... Mima yang nerima. Ada Ibu juga. Masa, waktu itu... terakhir kali, saya... hiks..."

Raka sigap merengkuh tubuhku yang bergetar oleh tangisan.

Aku ingat sekali, dua minggu sebelum Raka menghilang tiba-tiba, Mima sempat menyambutku di rumahnya. Semuanya tampak baik-baik saja. Aku bertemu Ibu Raka, beliau mengucapkan terima kasih dan menitipkan salam untuk Papa dan Mamaku. Aku nggak menyangka bahwa itu adalah momen terakhirku bertemu dengan Bu Lani Mahardika.

"Huhuu... hiks-hiks..." kutumpahkan semua duka. "Saya pingin ketemu Ibu kamu lagi, Ka... saya kangen," pintaku disela isak.

"Iya, besok kita ke tempat Ibu," jawab Raka menenangkan. Aku semakin tersedu.

Raka terlihat tegar, karena dia sudah melalui duka ini selama tiga tahun lamanya. Tapi, duka ini masih baru untukku. Hatiku remuk, tak siap.

"Kalau tau rasanya sesakit ini... harusnya dulu kamu kabari saya, Ka. Kita berdua ada untuk saling berbagi, suka maupun duka. Kenapa kamu maruk, nanggung ini semua sendirian?" bisikku disela isak. 

Raka mengusap pipiku lembut.

"Maaf, saya cuma nggak mau kamu merasakan apa yang saya rasakan waktu itu. Saya cuma ingin kamu baik-baik saja."

"Huuua... k-kamu egois... hu-huu..." Aku makin tersedu.

🥨

Sepanjang dua dekade hidup di muka bumi, baru kali ini aku menangis hampir setiap hari. Mataku bengkak, hidungku beler.

Sepertinya inilah hukum keseimbangan. Kebahagiaan sekian tahun yang kujalani bersama Raka dibalas tuntas dalam beberapa hari belakangan ini. Badai.

Butuh lima belas menit untukku meredakan tangis, meratapi kepergian Ibunda Leni yang dulu sangat sayang padaku seperti pada anak sendiri.

Dia yang dulu selalu menjadi jembatan antara aku dan keluarga Mahardika. Walaupun sampai ujung, tak ada titik terang restu dari kepala keluarga mereka.

Demi menyemangatiku, dulu Ibu Lani sering bilang, 'pokoknya Ibu doakan kamu bakal jadinya sama Raka, Lis. Inget loh, doa ibu itu paling manjur! Nggak ada obat! Dah pokoknya kamu udah jadi anak Ibu!'

Ahh, air mataku jadi menetes lagi. Sial.

"Ka," panggilku. Aku mencoba mengalihkan kesedihan dengan satu pertanyaan.

"Perempuan yang dijodohin ayah kamu itu... anak pengusaha sukses yang katanya pemilik hotel tempat kita kerja itu, apa... kamu sudah pernah ketemu orangnya?"

Raka tertawa pelan. "Sudah."

"Hah?! Terus... gimana? Orangnya cantik nggak?"

Dengan pedenya, Raka menjawab. "Cantik. Pinter lagi, pake banget."

Cooking Space (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang