🥨
____________________
Matahari menyengat, tengah hari meloloskan sinar ultraviolet yang begitu pekat. Aku dan Raka bersebelahan, terpekur menyambangi pemakaman yang diteduhi rantingan kamboja tanpa daun lebat.
"Bu... ini Lisa," bisikku di atas pusara bertuliskan nama Ibunda Raka. Dalam hati kubaca ukiran yang tersemat di sana.
Melani Wulansari Mahardika
BINTI
Sujiwo Puspo KusumoLahir : 6 Juli 1970
Wafat : 15 Januari 2015"... Lisa kangen Ibu."
Detik itu juga, aku bisa merasakan duka yang menguap.
"Maaf Lisa baru bisa datang jenguk Ibu."
Raka masih berusaha terlihat tegar, untukku. Dia sesekali menghela napas, sementara aku melelehkan lagi air mata yang kemarin sempat kering.
Kami berbincang dengan Ibu selama beberapa saat. Aku menceritakan pengalamanku bekerja di Celestial Hotel selama ini, dan Raka bercerita tentang rencana dia melamarku—sementara aku tersenyum mendengarkan monolognya.
Walaupun haru, ada kelegaan yang terasa lolos dari dadaku.
Lega, karena akhirnya Raka mau berbagi dukanya denganku.
Lega, karena cinta yang dulu menghilang tiba-tiba, kini kembali lengkap beserta penjelasannya.
Lega, karena satu-satunya lelaki yang kucintai setengah mati, ternyata juga balas mencintaiku sedemikian besar.
Kurasakan tepukan hangat di bahuku. Ternyata raka melingkarkan lengannya di punggungku. Aku menyandarkan kepala di bahunya.
Sayup dari kejauhan, kami melihat sesosok gadis muda berjalan. Semakin dekat, semakin jelas.
"Mima," gumamku saat ia tiba di hadapan kami.
"Kak Lisa," panggilnya. Aku mengangguk seraya gadis itu berlari ke arahku, merengkuh dalam rangkulan erat. "Maafin Mima Kak..."
"Kamu nggak salah, Mim."
Lega. Satu lagi, kelegaan yang lepas saat aku bertemu Mima kembali. Kata-kata yang dulu diloloskan olehnya menguap seketika.
Aku memaafkan anak ini, sepenuh hati.
🥨
Aku suntuk di rumah. Beberapa hari belakangan ini, Raka memaksaku untuk stay di rumah aja, dan nggak boleh masuk kerja.
Sebenarnya nggak butuh waktu lama untuk kakiku sembuh sempurna. Selang dua hari setelah dipijat oleh Mbah Tum, kakiku sudah kembali seperti semula.
Sementara itu, Mama jadi orang paling rempong sedunia. Tiap hari, Mama menyiapkan berbagai macam susu untukku—susu kambing, susu sapi, susu beruang. Katanya, aku butuh kalsium biar cepat healing.
Papa lebih aneh lagi. Hari ini dia membawakan dua kilogram sarang tawon madu, yang konon katanya bagus banget dikonsumsi sama orang yang lagi patah tulang.
"Bisa dibikin botok atau dimakan langsung!" Papa berpromosi ria sambil memamerkan hasil buruannya. Madu kental menetes dari satu sisi sarang tawon.
"Papa tega banget sih... masa anaknya disuruh makan yang aneh-aneh terus," protesku sambil menatap sarang tawon itu, miris.
Ini adalah kali ketiga Papa menyarankan makanan absurd untuk kukonsumsi. Pertama, Papa memintaku untuk makan lidah sapi. Setelah itu, 'biji' kambing (huek!). Nggak usah dibayangin gimana rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cooking Space (𝘌𝘕𝘋)
RomanceSetelah dua tahun membabu dengan nyaman sebagai Cook Assistant di Celestial Hotel, Lisa, si jenius penggila Astronomi yang fokus menyibukkan diri sebagi kuli kuliner, harus tersandung masa lalunya ketika mendadak ada Head Chef baru yang akan memimpi...