🥨
____________________
14 Februari. Tidurku nyenyak, mimpiku indah.
"Lis, bangun..." Suara familiar memanggil namaku. Hmm, siapa ya? Kayaknya aku masih mimpi.
"Lisa, bangun." Ah, Raka. Kamu mampir jadi bunga tidur ternyata.
"Lisa..." Aku tersenyum. Mimpi apa ini? Kita udah nikah? Tinggal serumah?
"... bangun."
Aku membuka mata. Loh, Raka beneran?
"Nah, bangun juga akhirnya." Lelaki itu tersenyum. Aku mengucek mata.
"Ini tahun berapa?" suaraku parau. Kupandangi sosoknya yang duduk di sisi ranjang, mengenakan jaket kulit kesayangannya. Tunggu... ini di kamarku? Kok ada dia??
"2050, Mars udah siap huni. Kamu siap berangkat?" Raka menarik tanganku hingga aku terduduk di kasur.
"Hahh?" Otakku nge-blank.
"Saya bercanda. Kamu cepet siap-siap gih, 30 menit lagi kita mulai prepare."
Aku berkedip, mencerna keadaan. Oh. Ini realita. Prepare, kerja. Tapi, tunggu...
"Raka?? Kamu kok bisa disini?!"
"Tuh..." Lelaki itu menunjuk ponselku yang tergeletak hitam di atas nakas. Baterainya mati.
"Kamu di-chat centang satu, di telepon nggak bisa. Pasti alarm juga bablas 'kan?"
Aku menepuk jidat.
"Ayo, kita harus ada di dapur sebelum jam tiga." Raka bangkit dari kasur, sementara aku masih menenggelamkan wajah di dalam telapak tangan.
"Maaf, saya lupa nge-charge hape..." aku memulutkan pembelaan ala kadarnya. Raka hanya mengangguk sambil tertawa ringan.
Dasar aku.
🥨
Setelah menghemat waktu dengan mandi bebek, aku bersiap-siap dan segera bergegas berangkat. Kulihat di ruang tamu, nggak ada Raka.
Di ruang tengah, juga nggak ada Raka.
Di dapur, lagi-lagi nggak ada Raka.
Apa jangan-jangan aku ditinggal? Wah sialan.
Suara cakap-cakap dua lelaki yang akrab di telingaku terdengar, arahnya dari halaman belakang. Aku berjalan kesana.
Ternyata Raka dan Papaku sedang jongkok bareng, ngarit rumput menggunakan celurit—pisau berbentuk bulan sabit. Aku memperhatikan mereka. Kayaknya lagi seru banget, entah ngomongin apa.
"Bakat banget jadi tukang kebun," komentarku sambil ikut berjongkok. Raka mengangkat wajahnya dan tersenyum.
"Hai," sapanya.
"Papa ngapain sih, anak orang disuruh nyabutin rumput gitu," protesku kearah Papa. Lelaki paruh baya itu terkekeh. Topi jerami yang dikenakan Papa membuatnya tampak seperti tukang kebun sungguhan.
"Papa mau ngingu (pelihara) kambing."
Aku mengerutkan kening. "Lah, buat apa?"
"Buat qurban Iduladha, atau dibuat aqiqah-an anak kamu sama Raka nanti, hehe," jawabnya dengan santai, membuat jantungku berdetak nggak nyantai. Anak, katanya.
"Udah ah!" tukasku. Raka tertawa.
"Pak, kami berangkat dulu ya," pamitnya.
Tanpa sadar, aku tersenyum. Pemandangan ini begitu kontras di mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cooking Space (𝘌𝘕𝘋)
RomanceSetelah dua tahun membabu dengan nyaman sebagai Cook Assistant di Celestial Hotel, Lisa, si jenius penggila Astronomi yang fokus menyibukkan diri sebagi kuli kuliner, harus tersandung masa lalunya ketika mendadak ada Head Chef baru yang akan memimpi...