"A revolution without dancing
is a revolution not worth having,"V for Vendetta.
"'What am I coming for?' he repeated, looking straight into her eyes. 'You know that I have come to be where you are,' he said; 'I can't help it.'"
Leo Tolstoy; Anna Karenina...
[1]
Kau melompat ke arus jeram jalan, dari blok kondomunium tempat kau tinggal ke pedestrian-pedestrian. Ke titik-titik kumpul keramaian. Ke titik-titik tumpul kedamaian.
Para pemadam kebakaran dan komplotan pemadam keresahan sibuk memadamkan kota. Tentara-tentara bayaran dan aparat penegak keadilan tumpah ruah ke jalan-jalan. Entah mana lawan - entah mana kawan: semua saling pukul saja sampai rusuh berangsur tenang.
Ku lihat ke layar jendela, helikopter seperti capung-capung di taman bunga. Ledakan-ledakan di penjuru kota bak kembang api. Kotapun jadi lautan napi. Semua: tersangka kecuali negara.
"Angkat teleponnya, Anna!" ku memohon, "Angkat teleponnya!!"
Sinyal kosong.. Namun, lagumu di dadaku belum jua mati, dan tiap detik suaramu di telingaku adalah sedetik yang abadi. "Tunggu aku! Aku telah berjanji untuk menjadi bunyi saat asa di dadamu berangsur sunyi."
Gas air mata, baku hantam dan bunyi tembakan berselisih. Serdadu-serdadu terpaksa melucuti keangkuhan hati kami, dan di gang-gang rumah toko ini, aku melucuti segala rasa percaya diri, "Dimana kau berada? Dimana harus aku cari? Kita harus bertemu sebelum salah satu dari kita mati!"
"Anna!"
Beberapa saat.. Hampir lima waktu dan perang belum juga usai. Kami sipil sudah bergegas maju. Bulat tekad ini: ini negara kami. "Merdeka atau Mati!"
[2]
Sesaat setelah aparat dipukul mundur, aku melihat kau limbung berkecimpung di tengah ramai yang bingar. Anomali. Tiap detik suaramu di telingaku adalah sedetik yang abadi. Aku meraih rintih dan gelak cemasmu, seraya lekas menghampiri.Aku raih kau di antara jembatan-jembatan yang rubuh, mobil-mobil yang terbakar terjungkal, kaca-kaca gemah pecah, bangkai-bangkai darah, dan semburat trauma pada wajah-wajah lelah. Seketika.. bibirmu, bibirku.. bertemu: oh aku tak peduli dunia runtuh, aku merindukanmu
Hanya, tenang saja. Maka di antara kerumunan ini kita berdansa pelan, kita nikmati perlahan-lahan kangen yang menelusup ke dalam dada. Di antara jemari yang saling genggam, dan langkah yang saling padan. Aku menatapmu, waktu bergerak lamban.
"Kau orang terakhir yang ingin aku lihat jika negara bubar, dan aku harus mati."
"Tidak ada yang akan mati, kecuali asa, jika kita menyerah dan berhenti."
Sesaat sebelum negeri runtuh dan balada api menyeluruh, kota dan kata menjadi api cerita, saat kita jelang hangatnya revolusi di bening bola mata mereka. Mata hati yang merdeka.
...
Untuk Anna:
"Di dalam genggamanku, ada jemari yang tak ingin aku lepas, meski laut api berkobar tiada henti.
Di balik jemari ini, sisa harap bercokol di mata hati, meski nikah peluru belingsatan tak bertepi.
Di sisa harapan yang bercokol ini, ada kau yang tak bisa aku biarkan sendiri, meski tubuhku terlempar dan pecah di matahari."
: Aku mencintaimu.
(2020)

KAMU SEDANG MEMBACA
1995
PoesíaBerikut merupakan manuskrip berisi sekumpulan puisi saya yang tidak ingin saya beri terbit, karena saya memang tidak mau saja. Isinya sajak-sajak ketika awal mula saya coba-coba menulis puisi. Beberapa ide/penggalan baris atau bait/potongan diksi/ko...