#42 T a k P e r n a h P u a s

1.2K 181 5
                                    

Manusia tidak akan pernah merasa puas, sebelum hidungnya tersumpal kapas.
∽Unknown∽

🍂🍂🍂

Angin bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan nampak menari ke kanan dan kiri mengikuti alunan hembusan angin. Sesekali daun yang berwarna coklat berjatuhan ke bawah. Tanpa sengaja Sasya menangkap salah satu daun yang baru terjatuh dari tangkainya.

Matanya seketika mendongak ke atas bertanya-tanya mengapa bisa daun yang masih berwarna hijau sudah terlepas dari tangkainya.

"Gak ada satu pun yang terjadi secara kebetulan, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an, "... Allah mengatur urusan (makhluk-Nya)." -ar-Ra'd: 2. Termasuk perihal daun-daun yang berguguran, sekalipun warnanya yang masih hijau." celetuk seseorang yang menghampiri Sasya di bawah pohon mangga.

Sejak lima menit yang lalu ia sudah memperhatikan Sasya, seperti kebingungan melihat daun-daun yang berguguran di bawah pohon mangga.

Orang tersebut akhirnya ikut duduk bersandar di sana. Tepatnya di sebelah kiri Sasya yang berjarak lima jengkal saja.

Sasya tak perlu menengok untuk mengetahui siapa dia. Karena yang tahu pohon tersebut hanyalah dirinya, Kekko, Reza, Irsyad, dan Nino saja.

Pohon ini sangat bersejarah bagi kelima nya. Sebab setiap kali ada pelajaran yang membosankan di kelas mereka, pohon ini adalah tempat persembunyian favorit mereka.

"Masih belum kelar masalahnya?" celetuk Reza, melirik sekilas ke arah Sasya.

"Bukannya masalah emang gak akan pernah kelar dari hidup kita." timpal Sasya.

Reza diam, bingung membalas apa.

"Sya."

"Hm."

"Mungkin kita sering berpikir bahwa kita gak butuh kehidupan mewah kecuali kasih sayang dari kedua orangtua kita. Cuma coba lo bayangin, kalo seandainya kita mendapatkan kasih sayang dari mereka, tapi posisi kita berada di bawah. Apa yang bakal lo harapin selanjutnya coba?"

Sasya melirik Reza sekilas. "Kehidupan yang layak."

"Nah itu dia, hidup yang kaya kita sekarang bukan?"

Sasya menunduk diam.

"Manusia itu hidupnya emang gak pernah ngerasa puas, sebelum hidungnya tersumpal sama kapas. Selalu ngerasa kurang dengan apa yang udah Allah berikan kepada kita dan cuma ngeluh bisanya ... Kalaupun Allah udah kasih apa yang kita inginin sekarang, pasti akan ada hal lain yang bakal terus kita inginin setelahnya ... Begitu aja seterusnya, sampe kuda berbulu domba."

Sasya cemberut.

"Sya, mungkin banyak banget anak-anak di luar sana yang pengen berada di posisi kita. Hidup dengan layak, selalu berkecukupan. Tapi kita yang udah punya semuanya, malah mengkufuri nikmat Allah cuma gara-gara orangtua kita sibuk sedikit aja. Pikir orangtua gak sayang lah sama kita, padahal mereka kerja cuma buat menuhin semua kebutuhan kita ... Gue juga pernah kok benci sama abi gue. Cuma setengah gue pikir-pikir, gak gampang jadi orangtua."

"Gue ngomong gini karena gue udah rasain gimana capeknya kerja. Jadi apalagi orangtua ya kan? Terutama ayah yang punya tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Gue rasa lo juga paham gimana rasanya, setelah lo kemarin bantu-bantu di cafe Nino."

Sasya menarik napas dalam, membenarkan perkataan Reza. Selama ini ia hanya banyak menuntut pada kedua orangtuanya saja, tanpa memikirkan bagaimana jerih payah keduanya untuk membahagiakan dirinya.

"Iya, bener juga. Gue aja yang cuma angkat-angkat piring di cafe ngerasa capek banget, apalagi papa gue yang kerja diperusahaan besar dengan segala tekanan sebagai pemimpin perusahaan. Pasti capeknya dobel, gak cuma capek tenaga tapi batin dan otak juga."

Hi Reza ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang