#44 R a s a Y a n g S a m a

1.2K 192 8
                                    

Sekeras-kerasnya batu jika tertimpa hujan akan rapuh juga, sekeras-kerasnya hati manusia jika kita hadapi dengan kesabaran dan ketulusan akan luluh juga.
Hi Reza
🍂🍂🍂

Reza menelan salivanya saat melihat jarum suntik yang akan di tusukan ke tangannya. Keringat dingin pun terus mengucur dari keningnya, apalagi ketika ia melihat ukuran jarum suntik itu jauh lebih dari biasanya.

"Tahan sedikit ya, Dek. Sakitnya cuma bentar kok," ucap seorang dokter.

Kini Hafiz sedang tidak ada jam dinas, sehingga ia hanya memperhatikan dokter yang bertugas sambil mendampingi Reza.

"Bentar, Bu Dokter." Reza menghentikan tangan dokter itu.

"Ada apa, Dek?"

Reza menarik napas dalam. "Ini enggak ada yang lebih gede lagi suntikannya? Sekalian aja pake selang, biar kesedot semua darah saya," ucap Reza kesal, mengapa jarum suntik itu begitu besar.

Dokter yang berada di depan Reza terkekeh pelan. "Ada, mau saya ambilkan?"

Wajah Reza semakin pucat. "Becanda, Dok." Reza memaksakan senyumannya.

"Maksud saya, enggak ada yang lebih kecil, Dok?" tambah Reza.

"Jarum yang lebih kecil ada, tetapi untuk donor darah sudah standar dengan ukuran 17G. Jika ukuran jarum lebih kecil, aliran darah akan menjadi lambat dan tentunya menambah waktu pengambilan darah. Mau?"

Reza menggeleng cepat.

"Abang cemen banget sih, takut sama jarum suntik," cibir Nafisa.

Dalam hati Reza ingin sekali mengumpat adiknya, belum tahu saja dia apa yang dulu pernah terjadi padanya.

Namun proses transfusi darah harus di lakukan segera, sehingga Reza memilih menutup matanya rapat-rapat agar proses pengambilan darah bisa cepat.

Nafisa sedikit kasihan melihat kakaknya yang terlihat begitu menderita. Ia berinisiatif mengelap keringat di kening Reza, sambil sesekali berucap, "Sabar ya, Bang. Sebentar lagi kok... Tarik napas.. Buang.." Nafisa terus menerus mengulang sugesti untuk tarik napas buang, sampai-sampai membuat Reza kesal.

"Abang lagi donor darah Nafisa, bukan lahiran!!" gigi Reza saling gemeretak.

Nafisa memanyunkan bibirnya.

"Nafis 'kan cuma mau bantu abang biar tenang." gumamnya pelan.

Reza kembali menyembunyikan wajahnya di balik tangan kanannya.

"Jangan kita di ganggu. Kasihan Abang Reza, dia sebenernya takut banget sama jarum suntik," bisik Hafiz.

Mata Nafisa seketika terbelak. Ia baru tahu ada sesuatu yang Reza takuti.

"Bang Reza takut sama jarum suntik? Pantes dari pertama pemeriksaan udah pucet." Nafisa terkekeh geli.

Reza berdecak.

"Semua itu juga gara-gara Abang kok, Dek." aku Hafiz.

"Bagus, nyadar!" celetuk Reza.

"Emang kenapa sama Bang Reza?" Nafisa penasaran.

Akhirnya Hafiz menceritakan semuanya, bahwa Reza pernah menjadi objeknya untuk latihan menyuntik dan mengambil darah.

Dulu, Hafiz juga pernah merasakan yang namanya gugup saat melewati masa-masa praktik kuliahnya, sehingga Reza menawarkan diri untuk membantunya dengan menyerahkan kedua tangannya untuk Hafiz berlatih di rumah.

Namun nyatanya semua tak berjalan sesuai bayangan Reza. Karena Hafiz berkali-kali gagal menyuntik di tempat yang benar. Sampai akhirnya Reza menyerah, akan tetapi tanpa sengaja Hafiz malah menyuntik bokongnya.

Hi Reza ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang