#49 G o y a h

1.1K 174 10
                                    

Ujian terbesar memang ada pada diri kita, sebab ketika hati menginginkan taqwa, tetapi diri mudah digoyahkan oleh urusan dunia.
Hi Reza

🍂🍂🍂

Reza tendiam menatap piring yang berada di depannya, ia tengah menata beberapa kata yang ingin ia ucapkan kepada abinya. Rasa deg-degan dibalik dadanya sangat tak terkendali, begitupun napasnya kembang kempis tidak beraturan sama sekali.

Ia sungguh gugup, takut jika tanggapan Aryan malah membuatnya hatinya patah. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia harus mengutarakannya agar bisa tahu hasilnya.

"Bi-" Ternyata, semua tak semudah yang berada dibenak Reza. Sebab baru mengucapkan kata 'Bi' saja, keringat dingin sudah membasahi keningnya.

Padahal, Aryan telah memberhentikan aktivitasnya dan memberi ruang untuk Reza berbicara.

"Ada apa, Nak?" tanya Aryan.

Reza menggaruk tengkuknya. "Anu-" Bibirnya kembali kelu.

Semua orang di meja makan menatap Reza kebingungan. Reza melirik ke kiri dan kanan. Ketika suasana begitu tegang. "Reza mau paha, Abi," kelakar Reza tanpa sengaja.

"Paha ayam-maksudnya, yang di pegang-Abi," penjelasan Reza, tak mau kakak dan adiknya terus tertawa, salah paham dengan perkataannya.

Reza merasa menjadi seperti orang bodoh, karena tiba-tiba tak bisa lancar bicara. Padahal sejak semalam, ia sudah menguntai kata yang begitu panjang.

Point terpenting yang ia ingin katakan, bahwa, ia ingin segera menikahi pujaan hatinya setelah mereka lulus sekolah, dan Reza mengharapkan kebersediaan abinya untuk merestuinya. Tak lupa ia ingin meminta kebersediaan Hafiz untuk tidak keberatan apabila ia langkah. Akan tetapi, mengapa sekarang itu semua terasa begitu susah?

Reza ingin mengutuk dirinya, karena percuma saja ia menghafal sedari malam. Sebab yang keluar dari bibirnya hanya 'paha ayam'.

Selesai orang-orang di meja makan terkekeh pelan. Aryan berucap, "Kamu kapan membawa calon pendampingmu ke rumah, Hafiz?"

"Adik-adik kamu ini sudah pada mulai besar. Reza saja sudah punya pacar, mau kamu keduluan," sambung Aryan.

Hafiz menarik ujung bibirnya ke atas. "Nggak apa-apa kok, Bi. Kalau seandainya nanti Reza atau Nafisa mau ngeduluin aku."

Bak ada angin segar yang menerpa Reza, senyumnya mengembang cerah. Akan tetapi, dalam hitungan detik sebuah petir menyambarnya.

Aryan berkata, "Abi sangat tidak setuju! Pokoknya, tidak ada yang boleh menikah sebelum kamu, Hafiz. Abi ingin anak-anak abi menikah secara berurutan. Jadi, selagi masih ada waktu, cepat perkenalkan calon pendamping kamu."

Hafiz menatap kedua adiknya yang sudah mengerutkan dahi mereka. Hafiz sadar, dirinya memang tak pandai mencari pasangan. Ia sangat takut jika akan menghalangi jodoh adik-adiknya, dan lebih takut lagi dimusuhi keduanya.

Setelah menatap anak pertamanya, Aryan beralih menatap Reza. "Abi harap, kamu tidak ingin cepat-cepat menikah, ya, Reza. Jalan kamu masih panjang. Abi harap kamu bisa memapankan diri kamu terlebih dahulu, sembari memberi kakak kamu waktu," tutur Aryan kepada Reza.

Reza tersenyum dengan elegan di hadapan abinya. Lebih tepatnya senyuman keterpaksaan.

※※※

Sasya berjalan santai menuju kelas IPS II. Wajahnya sudah lebih berseri dibandingkan hari-hari sebelumnya, sebab motonya kini telah berubah, yang tadinya ke sekolah demi 'bertemu Reza', kini demi 'kedua orangtuanya'.

Hi Reza ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang