#18 M e r e n u n g k a n D i r i

1.8K 219 4
                                    

Belajarlah mengucap syukur dari hal-hal baik yang kita rasakan, karena karunia yang Allah berikan selalu lebih banyak dari apa yang kita keluhkan.
~ Hi Reza ~

🍂🍂🍂

"Irsyad!!!" semua berteriak sambil menutup mata serta telinga mereka.

Bu Nina yang memiliki jiwa ke-ibu-an pun langsung menghampiri dirinya dan memijit bagian punggungnya.

"Nih pakai ini." kata pak Bayu yang ikut menghampiri memberikan minyak kayu putih.

Raut wajah Irsyad yang kian memucat, membuat Reza dan Nino iba padanya sehingga ikut mendekat.

"Makanya udah dibilangin kalo makan tuh kira-kira. Sebelum berangkat kan lo udah makan banyak, sekarang malah ditambah lagi. Untung gak pecah tuh perut." kata Reza dengan nada sedikit kesal, namun bermaksud baik untuk temannya.

"Yah, Za. Gue kan jarang-jarang nemu makanan enak kaya gitu di rumah. Nyokap gue jarang masak. Lo tau sendiri kan keadaan keluarga gue kek gimana," wajah Irsyad berubah sendu mengingat orangtuanya.

Ayah Irsyad hanyalah seorang buruh pabrik biasa dan sifatnya begitu tempramental. Ayahnya tidak pernah memberikan nafkah kepada ibunya sedikitpun dari hasil kerjanya, melainkan hanya penyiksaan lah yang kerap ia berikan di saat ibunya meminta uang.

Ayahnya pun sangat jarang pulang ke rumah dan selama ini ibunya hanya mengandalkan berjualan sayuran kecil-kecilan didepan rumah mereka. Yang tentu untungnya tak seberapa, sehingga ibunya hanya dapat masak seadanya, itupun dari sisa sayuran yang tak terjual.

Maka dari itu beberapa bulan belakangan ini Irsyad sampai rela kerja partime di cafe milik Nino secara diam-diam untuk biayai sekolahnya sendiri. Itulah sebabnya Nino begitu care padanya, karena ia mampu melihat sisi lain dari Irsyad yang jarang sekali orang lain lihat.

"Gimana Syad, masih kuat gak?" tanya Nino pada Irsyad.

"Aman ko." balas Irsyad meski sedikit meringis, karena saat ini bu Nana sedang mengerik punggungnya.

"Kamu masuk angin nih nak, merah banget soalnya." ujar bu Nana.

Reza berdiri dan pergi dari sana. Ia mengambil sesuatu dari tasnya dan kembali mendekat ke Irsyad.

"Nih Syad, abis di kerik lo minum trus pake nih sweater. Perjalanan masih setengah jam lagi, mending nanti lo istirahat aja di dalem." ucap Reza sebagai bentuk kekhawatirannya.

"Makasih ya brother." terukir sebuah senyuman yang tidak biasa dari Irsyad, sebab matanya yang terlihat berkaca-kaca.

"Kenapa?" tanya Reza menepuk punggung Irsyad. Yang masih setia berada di dekatnya, menemaninya hingga bu Nana selesai mengeriknya.

"Gue jadi inget ibu gue, Za. Dia udah makan belum ya. Biasanya kan gue yang anter dia ke pasar pagi-pagi buat belanja sayuran. Pasti tadi dia kerepotan deh karena harus belanja sendiri naik angkot. Belom lagi, gue takut bokap gue pulang ke rumah. Gue takut dia ngapa-ngapain nyokap." Irsyad menatap Reza sesaat, lalu kembali memanglingkan wajahnya.

Reza saling melempar tatapan dengan Nino yang juga masih berada di sana.

"Lo tenang aja Syad, nanti gue suruh orang kepercayaan gue buat mantau ibu lo di sana. Jadi kalo sewaktu-waktu bokap lo datang, insyaallah ibu lo aman." kata Nino.

"Makasih ya No, Za. Gue udah banyak repotin kalian."

"Santai." Reza menepuk punggung Irsyad lagi, lalu merenungkan diri.

Ternyata masih ada yang lebih susah darinya, dan dirinya masih lebih beruntung dari Irsyad.

Selama ini Reza selalu berpikir bahwa hidup ini tak adil untuknya, karena abinya yang selalu membeda-bedakan dirinya dengan kakak dan adiknya Nafisa. Ia selalu mengeluh pada keadaan, bahkan menyusahkan umminya dengan kelakuannya yang dulu sangat berandalan. Ia juga selalu iri dengan kehidupan orang lain yang ia anggap selalu bahagia tak seperti dirinya.

Hi Reza ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang