Turin, Piedmont, Italy.
Hawa dingin serta lorong gelap, sudah menjadi teman akrab bagi orang-orang berseragam hitam, namun tidak bagi gadis cantik berkaus putih. Tangannya meremas erat cup berbahan kertas yang tadinya berisi air mineral. Bibirnya pucat dan gemetar. Rambut indahnya terurai berantakan.
Gracelyn tidak mengerti, mengapa harinya harus berakhir seperti ini. Ia hanya ingin jalan-jalan, menikmati Turin saat malam. Namun sial, kafe tempat di mana ia akan singgah berhasil diledakkan. Well, sebenarnya Gracelyn tidak sepenuhnya tertimpa sial. Buktinya saja ia masih hidup hingga saat ini, hanya ada luka pada dahi serta lengan kirinya.
"Ha-halo." Suara Gracelyn bergetar. "Ada apa, Grandma?"
Belum ada dua jam sejak insiden ledakan dan neneknya sudah mendengar berita ini? Cepat sekali beritanya tersebar, padahal sang nenek tinggal di daerah pedesaan.
"Oh ya? Aku belum dengan beritanya," dalih Gracelyn. "Ya, Grandma, aku tidak akan keluar malam ini. Lagi pula besok sore aku harus pergi ke bandara. Jadi malam ini ingin istirahat saja."
Gracelyn menelan ludah ketika mendengar suara langkah kaki dari ujung lorong. "Grandma, aku tutup ya. Kita bicara nanti."
Pandangan Gracelyn jatuh pada wanita di sebelahnya. Hanya tersisa dua orang di lorong ini. Jika bukan dirinya yang dibawa pergi, sudah pasti wanita itu.
"Nyonya, saya akan antarkan Anda keluar," ujar pria berseragam hitam pada wanita di sebelah Gracelyn.
"Kau," perempuan yang mengenakan seragam yang sama berucap pada Gracelyn, "ikut denganku."
Jantung Gracelyn berdegup kencang. Mereka berjalan menyusuri lorong gelap. Hingga tiba di depan pintu kaca, Gracelyn diminta untuk menyerahkan ponsel lalu berjalan melewati mesin detektor.
Benak Gracelyn bertanya-tanya, sebenarnya ini tempat macam apa? Kenapa punya pengamanan yang cukup ketat? Bahkan di awal tadi Gracelyn sudah harus menyerahkan tas serta kameranya. Banyak juga alat sensor yang terpasang di setiap sisi pintu ruangan yang ada. Ini bukan penjara 'kan?
Dibatasi meja, Gracelyn duduk berhadapan dengan perempuan yang tadi membawanya. Lagi-lagi ia diberikan minum berupa air mineral dengan model gelas yang sama, hanya ukurannya saja sekarang lebih besar. Ini jelas membuatnya kembali bertanya-tanya, jangan-jangan...
"Tidak ada apa pun di dalam air itu." Seperti punya kemampuan membaca pikiran, tanpa diminta perempuan di hadapan Gracelyn sudah paham akan kecemasannya. "Jika tidak percaya biarkan aku meminumnya terlebih dahulu."
Gracelyn menggeleng cepat. Merasa tidak enak, ia langsung meneguk setengah dari isi gelas. "Maaf dan terima kasih."
"Ada yang ingin kau tanyakan?"
"Hah?" Gracelyn pikir dirinya dibawa ke ruangan ini untuk dimintai keterangan. "Aku? Bertanya?"
"Ya. Bertanyalah sesukamu sebelum aku yang bertanya."
Banyak pertanyaan yang sudah mengantre pada kepala Gracelyn. Sayang, lidah gadis ini terlalu kelu untuk mengatakannya. Pada akhirnya semua pertanyaan itu hanya ia simpan dan telan bulat-bulat.
"Tidak ada? Baiklah, giliranku. Apa yang sedang kau lakukan di tempat itu?"
"Aku, aku sedang berlibur. Kota ini bukan tempat asalku. Aku datang dari—"
"Aku sudah tahu," potong perempuan itu cepat. "Gracelyn Rose Spencer. Usiamu memasuki dua puluh dua tahun, dua bulan lalu. Kau baru lulus dan mendapat gelar sarjana dengan nilai yang sangat memuaskan. Asalmu dari Amerika tepatnya—"
"Cukup cukup," sela Gracelyn sedikit membentak. Bagaimana bisa orang asing ini tahu data pribadinya? Selama ini Gracelyn juga tidak pernah datang ke Turin. Jadi mereka tidak mungkin saling kenal sebelumnya. "Katakan padaku apa maumu? Jika ingin uang, kau menangkap orang yang salah. Aku tidak punya apa pun saat ini selain ponsel, kamera, dan isi tas yang sedang kau sita. Ambil saja dan lepaskan aku."
Perempuan itu tertawa kencang—lebih terdengar seperti mengejek. Kini dia bertopang dagu, memandang Gracelyn yang sedang bingung sekaligus ketakutan.
"Dengar, aku ingin—"
Kalimatnya terputus. Pria berseragam hitam yang tadi Gracelyn temui sedang mengetuk-ngetuk dinding kaca. Dia mengisyaratkan sesuatu melalui jari tangannya. Empat. Apa maksudnya dari empat? Empat menit? Empat jam? Empat hari?
"Aku ingin memberikan tawaran kepadamu. Lebih tepatnya sebuah pekerjaan. Setelah lulus kau belum mencoba mencari kerja, bukan?"
Gracelyn mengangguk. Fakta itu benar adanya. Ia ingin menikmati waktu kosongnya untuk berlibur dan menikmati hidup, sebelum nantinya akan disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan.
"Sebelum aku mengatakan padamu tentang pekerjaan ini, kau bisa memilih seberapa banyak bayaran yang kau inginkan."
Gracelyn bungkam. Pekerjaan apa yang ditawarkan saja ia tidak tahu. Lalu bagaimana cara menentukan jumlah bayaran yang diinginkan?
"Kau tampak bingung. Aku akan buka penawaran mulai—sebentar, aku perlu mengonversinya menjadi dollar." Perempuan itu menatap ponsel selama beberapa saat, sebelum kembali pada Gracelyn disertai sudut bibirnya yang terangkat. "Seratus ribu dollar. Tidak, seratus lima puluh ribu dollar."
"Itu bayaranku satu tahun?"
"Satu tahun? Tentu tidak. Itu satu bulan. Belum ditambah bonus-bonus lainnya. Kau masih bisa menaikkan bayaranmu. Lima ratus ribu? Satu juta?"
Napas Gracelyn tercekat, mulutnya pun terbuka lebar. Dirinya tidak salah dengar 'kan? Dua puluh dua tahun ia hidup, Gracelyn sama sekali tidak pernah membayangkan akan mendapat tawaran pekerjaan dengan bayaran fantastis. Seratus lima puluh ribu dollar dalam satu bulan. Sial, dia bisa mendapat satu buah mobil Lamborghini dalam waktu dua bulan saja. Bagaimana jika ia benar-benar dibayar satu juta dollar? Mendengar nominalnya saja membuat kepala Gracelyn pusing.
"Maaf jika aku terkejut. Nominalnya terlalu banyak. Boleh aku tahu pekerjaan macam apa yang akan tau tawarkan padaku?"
Hope you like it!
What do you think?
See you on 1st chapter!
[31/10/2020]
-findgilinsky-
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Puzzle (COMPLETED)
Romance[Spin-off Secret Message] [Mature Story⚠️] [Romance-Action] "She's too dazzle, even though she just the lost puzzle." Akibat rasa ingin tahu yang besar, membawa FERNANDO MAVERICK PETERSON jatuh ke lubang gelap. Ketika rahasia terungkap, Fernando mer...