01. Prolog

1.1K 85 34
                                    

Cinta itu terasa semakin kuat.

Saat dua insan memantapkan hati untuk menjalani hubungan yang lebih serius, hampir tak ada yang dapat menghalangi keduanya.

Hanya mereka—sepasang muda-mudi yang terbuai cinta—yang dapat merasakan bagaimana bahagianya berada di samping sang pujaan hati. Bibir seakan tak pernah lelah tersenyum, mata tak hentinya berbinar, serta hati yang kian menghangat. Sederhananya begitu, saat Silvanna berada di dekat Granger, begitu pun sebaliknya. Dua tahun berpacaran dengan Granger, menguatkan keyakinan Silvanna untuk melangkah ke hubungan yang lebih serius dengan cowok itu.

Sebenarnya, Granger sudah pernah menemui orang tua Silvanna saat gadis itu masih berkuliah di akhir semester satu lalu. Ketika itu, Silvanna yang baru berusia dua puluh tahun membuat orang tuanya keberatan kalau anak gadisnya menikah muda. Tuan Aurelius mengizinkan Silvanna menikah kalau usianya sudah lebih dari itu. Apalagi, saat itu Granger masih baru lulus kuliah. Dengan penuh pertimbangan, Tuan Aurelius—ayah Silvanna—mengizinkan Granger melamar anak gadisnya saat Granger sudah memiliki pekerjaan, sekaligus mematangkan usia Silvanna.

Sebelum menginjak ke jenjang pernikahan, mereka memutuskan untuk melangsungkan pertunangan. Pertunangan itu diadakan di kediaman Silvanna saat gadis itu berkuliah di awal semester lima. Kedua keluarga setuju kalau pernikahan mereka diadakan saat Silvanna menyelesaikan magang di kota Azrya selama enam bulan.

Acara pertunangan itu berlangsung sesuai dengan yang diharapkan oleh kedua pihak keluarga. Granger hanya datang bersama Natalia dan Roger, suami Natalia. Namun, Natalia dan Roger tak bisa berlama-lama di Moniyan dikarenakan ada urusan pekerjaan yang menuntut mereka untuk segera kembali ke Celestial.

Sementara Granger memilih tetap di Moniyan untuk ikut mengantar Silvanna yang akan pergi ke Azrya malam itu juga.

Granger mengelus cincin emas putih yang tersemat di jari manisnya sambil menikmati hangat senja di sebuah gazebo tengah danau. Terbesit dalam pikirannya rasa tidak menyangka kalau ia bisa melakukan hal-hal yang serius. Gadis bernama Silvanna Aurelius akan diajaknya mengarungi kehidupan untuk mereka berdua. Gadis itu yang memberikan jalan keluar dalam hidupnya yang seakan tersesat di masa lalu. Sabarlah. Selangkah lagi, mereka akan bersatu dalam sebuah ikatan janji suci. Semoga.

"Aku cari kamu, ternyata kamu di sini."

Suara lembut itu mengundang Granger untuk berbalik. Sesosok gadis berdiri di jembatan kayu—yang menghubungkan gazebo dengan tepi danau—tengah tersenyum ke arahnya. Gaun putih sebawah lutut dengan gelungan rambut modern menambah aura kecantikan Silvanna.

Silvanna melangkah pelan menuju gazebo, tempat keberadaan Granger. Danau itulah yang menjadi tempat favorit mereka berdua saat sedang di Moniyan. Danau yang tak terlalu luas dan letaknya tak jauh dari rumah Silvanna.

"Keretaku ke Azrya berangkat pukul delapan malam ini," infonya saat berada di samping Granger. Ia turut melihat air danau yang memantulkan cahaya oranye langit sore itu.

Granger menghela napas kecil, "Waktu kayak yang cemburu liat kebersamaan kita," ungkapnya membuat Silvanna menoleh. "Baru aja beberapa jam yang lalu kita tunangan, beberapa jam ke depan kita harus pisah."

"Hanya enam bulan, Granger," sahut Silvanna. "Lagi pula, aku nggak menyangka kalau aku diterima magang di kantor televisi itu."

"Baiklah, aku akan menunggu kamu enam bulan di sini."

Silvanna tertawa kecil saat menyimpulkan persepsi dari kalimat Granger barusan. "Maksudnya, kamu nggak mau pulang dari sini sampai enam bulan ke depan?"

Granger mengangkat sebelah alisnya lalu tersenyum miring. "Kalau kamu yang minta, akan aku lakukan."

"Terus kerjaan kamu gimana?" tanya Silvanna. "Kasian Alucard kalau harus handle kerjaan kalian sendirian."

"Ya. Bagaimana pun, dia saudara tiri yang sangat bawel dan perfeksionis dalam pekerjaan. Tapi kalau di luar kantor, dia bisa jadi orang yang berbeda." Granger menghadap samping untuk langsung menatap Silvanna. "Alucard dan Miya minta maaf karena nggak bisa ikut ke acara kita. Alucard yang lagi sibuk sama kerjaan, dan Miya masih hamil muda."

Silvanna menghadap samping, menemukan sepasang iris hitam tegas milik tunangannya. "Nggak apa-apa. Miya juga udah kirim pesan, kok. Orang tua kamu ikut datang aja udah bikin aku seneng, Gran. Ternyata, mereka nerima aku buat kamu."

"Mereka bilang, nggak ada yang bisa maksa aku. Karena, aku adalah raja untuk diriku sendiri. Dan aku memilih kamu buat jadi permaisurinya. Aku makin nggak sabar buat nikahin kamu."

Tangan halus Silvanna meraih kedua tangan tunangannya dan menggenggamnya di depan dada. "Sabarlah, sebentar lagi. Tugas kita sekarang, bagaimana cara membuat enam bulan itu terasa singkat."

"Tapi, aku bakal ngerasa kesepian selama kamu di Azrya."

"Jangan pernah merasa sendirian. Selama kita masih berada di bawah langit yang sama, selama itu juga aku selalu dekat dengan kamu." Kalimat dari Silvanna, menghangatkan hati Granger yang sempat gundah jika harus terpisah jarak dengan Silvanna.

"Aku janji, saat kamu pulang, aku udah ada di sini buat jemput kamu," ucap Granger lembut setelah mengecup punggung tangan Silvanna yang menggenggam tangannya.

Tangan Granger terangkat, mengusap pipi halus Silvanna dengan ibu jarinya. Kemudian ia menarik kepala gadis itu lalu menunduk untuk mendekatkan bibirnya. Sore yang cerah itu mereka akhiri dengan sebuah ciuman lembut. Sebisa mungkin, mereka memanfaatkan waktu yang tinggal beberapa jam lagi sebelum berpisah untuk sementara.

❤❤❤

Di sebuah peron tengah stasiun kereta, keduanya duduk di kursi tunggu yang disediakan untuk menunggu kedatangan kereta masing-masing. Kepala Silvanna masih menyender nyaman di bahu Granger. Sebelah tangan mereka saling menggenggam erat di pangkuan Silvanna.

"Pas kamu nyampe Celestial, jangan lupa kabarin aku, ya," pinta Silvanna dengan suara pelan.

"Pasti, Sayang. Aku nggak mau bikin kamu cemas," sahut Granger seraya mempererat genggaman tangan Silvanna. Sedetik kemudian, Granger mendaratkan sebuah kecupan ringan di kening Silvanna.

Waktu benar-benar cemburu dengan kebersamaan mereka. Waktu tak pernah mau menyisakan sedikit celah untuk mereka bersama lebih lama. Kedatangan dua kereta dari arah yang berbeda menjadi aba-aba waktu yang ingin memisahkan mereka.

Silvanna dan Granger menegakkan duduknya seraya mengecek barang-barang bawaan masing-masing. Saat ada peringatan waktu perjalanan dari pihak stasiun, keduanya berdiri dan bersiap untuk masuk ke kereta masing-masing.

Seperti masih belum rela untuk berpisah jarak, keduanya kembali menoleh ke belakang saat tiba di depan pintu gerbong kereta masing-masing. Granger mengecup cincin tunangannya sebagai tanda pamit, begitu juga dengan Silvanna yang melakukan hal yang sama sebelum masuk gerbong dan mencari tempat duduknya. Beberapa menit kemudian, kedua kereta itu mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun ke arah yang berbeda.

Di tengah perjalanan, Silvanna memandang ke luar jendela. Sayangnya, tak ada yang bisa ia lihat selain pantulan dirinya di kaca karena saking gelapnya di luar sana. Kepalanya menyandar pada jendela, lalu mendongak bermaksud ingin memandang langit. Iris ke-abuannya hanya menangkap bentangan hitam tanpa bintang. Itu pun tersamar oleh kaca yang memantulkan bagian dalam kereta yang tersorot lampu.

Begitu juga dengan Granger yang melakukan hal yang sama di tempat yang berbeda. Kepalanya mendongak, berusaha menemukan letak langit yang seakan hilang dari pandangannya. Namun ia tahu, langit tak akan berpindah ke mana-mana. Ia tetap ada di tempatnya. Sama halnya dengan hatinya yang sudah memilih tinggal di hati seorang gadis bermarga Aurelius.

Dalam denyut nadi yang seirama, mereka yakin, meskipun kini arah langkah mereka berbeda, namun tujuan mereka sama, membuat enam bulan terasa singkat.

Bersambung...

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang