#17 : Pilihan

184 8 2
                                    

"Dan Allah akan mewujudkan keinginanmu yang pernah engkau anggap jika itu adalah suatu hal yang mustahil."

Jika ada yang mencintai diri ini melebihi diriku sendiri. Itu hanyalah Rabb ku, dengan segala kebaikan Nya. Aku masih di izinkan untuk menikmati semua nikmat yang terbentang luas di muka bumi ini.

Wahai Rabb ku.
Ampuni hamba mu ini, ampuni hamba Mu yang masih sering menuntut banyak pada Mu

                                       ***

"Han? Kamu sakit? Aku mau bicara sesuatu ke kamu, tolong dengarkan aku."

Hasbi, ada apa? Kenapa kamu mengusikku lagi. Tak kupungkiri jika aku masih belum bisa sepenuhnya berpindah darimu, hatiku masih terbawa olehmu. Tapi aku juga tak mau terus hidup dalam bayangmu, aku juga perempuan. Aku tahu betul jika perempuan adalah pencemburu ulung, istri mu kuyakini pasti akan cemburu jika ia mengetahui kamu kembali menghubungiku. Setelah foto Hasbi junior yang kamu kirimkan kepadaku 2 hari yang lalu, kamu kembali menelponku. Mencuri waktu, aku tahu kamu pasti sedang berada di kantor.
Suaraku memang melemah, sudah berapa hari ini suhu tubuhku naik. Tapi aku masih bisa menahannya, umi dan Abah pun tak tahu. Jika umi dan Abah tahu, mungkin mereka sudah menjemputku. 

"Hanun. Aku akan menemui mu disana, besok aku akan terbang ke kotamu. Aku akan menjemputmu"

Ada apa ini? Apa yang dikatakan Hasbi semakin melantur. Aku sudah tidak tahan lagi, pandanganku tiba-tiba saja menjadi gelap. Aku tak bisa mengingat apa-apa, pandanganku buram, saat aku terbangun justru aku telah berada di ranjang rumah sakit. Kulihat umi dan Abah sudah berada di sisi kanan dan kiri ranjang,

  "Astaghfirullah umi, Hanun ga sadar. Hanun pingsan kah tadi?" Tanyaku.

  "Iya, Hanun. Tadi ada teman kos kamu sayang, dia yang bawak kamu kerumah sakit dan langsung menelpon umi."

"Maafin Hanun mii, Hanun ga kasih tau umi. Dari kemarin badan Hanun rasanya panas banget, Hanun kenapa mi?"

  "Iya sayang, lain kali kalo memang nggak enak badan. Pulang aja dulu ke rumah, bilang ke Abah biar di jemput."

  Aku tak tahu, rasanya badanku begitu lemas. sepertinya bayangan Hasbi yang kulihat sebelum pingsan tadi hanyalah halusinasi, Karna suhu tubuhku yang sedang naik aku seperti melihat dan berbicara dengannya. 

"Mii, ponsel Hanun mana? Umi Bawak nggak?" Tanyaku

"Ada di tas umi. Sebentar umi ambilkan ya."

  Belum selesai mencerna halusinasi yang terasa seperti nyata tadi, aku kembali dikejutkan dengan sebuah notifikasi dari pesan yang sudah hampir satu jam lalu masuk ke ponselku.

"Assalamualaikum Hanun, maaf. Ini aku Hasbi, apa kamu ada waktu? Ada yang ingin aku bicarakan."

   Hidupku seperti berputar-putar disini saja. Sudah cukup, rasanya aku benar benar ingin menghilangkan bayangan Hasbi. Mengubur dalam-dalam ingatan tentang stranger yang sudah membuatku kehilangan kekhusyukan dalam beribadah itu. Aku mematikan ponselku dan mengabaikan pesan dari Hasbi, aku tak mau semakin menguras tenaga ku untuk berpikir.
  Mataku mulai terpejam, kubiarkan rasa kantuk menguasai ku. Sepertinya efek dari obat yang barusan saja kuminum, sudah hampir 2 jam aku tertidur di atas ranjang rumah sakit ini. Kulihat ada seorang perawat yang sudah berdiri di samping ranjangku, untuk mengecek kembali keadaanku. 

"Hanun. Bisa aku telpon kamu?"

Kembali pesan Hasbi menghiasi layar ponselku. Sesaat setelah aku menghidupkan ponsel. Tanpa persetujuan dariku, dan tanpa menunggu balasan dariku. Hasbi tiba-tiba saja langsung menelpon.

"Haloo, Hanun. Assalamualaikum?"

"Wa'alaikumussalam. Kenapa?"

"Kamu lagi apa Hanun. Aku nggak ganggu kan."

"Nggak perlu tau. Kenapa, apa yang membuat kamu sepertinya darurat sekali. Dan harus banget buat hubungin aku sekarang." Jawabku kesal

"Kamu kenapa Hanun? Nggak biasa nya nada bicara kamu begini."

"Aku, kenapa dengan aku? Aku nggak kenapa kenapa."

"Hanun, aku ingin bertemu denganmu."
Ucap hasbi.

"Astaghfirullah Hasbi, kamu! Ini sudah sangat salah Hasbi. Udah cukup."

"Tunggu dulu Hanun. Sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan"

"Nggak perlu Hasbi, udah kita selesain semua ini. Salahku memang, salahku yang kembali menghubungimu kemarin. Aku hanya ingin tahu kabarmu, kabar istrimu. Dan aku ingin tahu apakah kamu bahagia disana. Hanya itu saja, tapi tetap ini salahku."

"Hanun, izinkan aku menemui abahmu. Kali ini aku benar-benar akan datang." 

Aku terdiam, membisu. Tak ada kata yang kukeluarkan, aku tak tahu harus menanggapinya seperti apa. Hatiku yang selama ini sudah cukup puas dengan harapan dan mimpi yang hanya membuatku patah itu kini kembali merasa haus. ucapan Hasbi barusan layaknya oasis yang kutemukan di tengah gurun pasir. Tapi, aku tak lantas terlena. Bagaimana, bagaimana dengan keadaaan wanita yang berada bersamanya disana. Aku tak menjawab perkataan nya, dan justru menutup telpon ku begitu saja.

 

 

HanunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang