#19 : Satu Atap?

298 8 2
                                    

مادام الغيب بيد الله فتو قعه جميلا

"selama hal itu masih menjadi rahasia Allah, maka berharaplah akan menjadi sesuatu yang indah."


    Sejenak aku terdiam, mematung di tempat ku berdiri. Meyakinkan diriku bahwa seseorang yang tengah berdiri di hadapanku ini memang benarlah 2 orang yang selama ini ingin kutemui. Aku tak tahu harus berkata apa, bukan. Aku bukan sedang marah pada mereka, aku hanya sejenak berpikir mengapa takdir tuhan sebegini luar biasanya. Istri Hasbi, adalah sosok teman yang selama ini sudah kuanggap seperti kakak.

"Ukh, saya tahu apa yang ada dipikiran ukhti Hanun. Ya, dia suami saya ukh, dan kami kesini memang sengaja ingin menemui ukhti Hanun." Ucap ukhti Wawa

"Kamu. Kamu sudah kenal dengan Hanun?" Tanya Hasbi

"Iya, aku kenal bi. Aku dan hanun berteman baik, aku yang pertama kali menghubungi Hanun di media sosial. Dan ketika tadi aku izin, bilang mau menemui temanku di taman. Iya, memang ukhti Hanun lah yang ingin kutemui" Jawab ukhti Wawa.

"Hanun, bisa kita bicara bertiga." Ucap hasbi

Tak tahu bagaimana perasaanku saat ini, rasanya aku sedang dipermainkan. Kenapa dari awal ukhti Wawa tak memberitahuku jika ia datang kesini bersama Hasbi, lalu saat ini kenapa Hasbi dan ukhti Wawa seperti sedang saling menyembunyikan rahasia. Hasbi juga nampak kebingungan, ia tak tahu jika teman yang ingin ditemui istrinya adalah aku. Mungkinkah selama ini kami berteman tanpa sepengetahuan Hasbi, padahal ukhti Wawa sudah mengetahui jika aku adalah sosok wanita yang dulunya hampir menikah dengan suaminya. Sekarang aku mengerti kenapa ia tak pernah memberitahu nama aslinya, ia selalu memintaku memanggilnya dengan panggilan ukhti Wawa saja. Ya, semua itu demi melancarkan rencana nya dalam mendekatiku. Mencari informasi mengenai aku, kini aku jadi mempertanyakan ketulusan nya dalam berteman denganku.

"Mau bicara apa. Aku sibuk, sampaikan sekarang. Atau aku akan pergi."

"Bisa kita duduk dulu, cari tempat yang nyaman." Lanjut Hasbi.

"Nggak, aku sibuk. Sampaikan sekarang juga, disini!"

"Ukh, yuk kita ngobrol dulu. Kita cari tempat yang enak." Lanjut ukhti Wawa.

"Maaf ukh, bisa nggak kita akhiri ini secepatnya. Sampaikan apa yang ingin disampaikan saja disini, jujur saya bingung dengan situasi ini." Jawabku.

"Hanun maaf sebelumnya. Jika aku tak memberitahumu bahwa selama ini sebenarnya aku sengaja mengajakmu berteman karna ingin mencari tahu tentang sosok yang terus ada dalam bayangan Hasbi. Aku mencari tahunya sendiri, jadi disini Hasbi sama sekali ga tahu kalo kita sudah saling mengenal."

"Lantas, apa yang kamu harapkan dari pertemuan ini?" Tanyaku

"Maka dari itu, mari kita obrolkan ini." Jawab ukhti Wawa.

Dengan perasaan yang sedikit mencair, aku akhirnya menyetujui permintaan mereka. Ukhti Wawa meraih tanganku dan mengajakku berjalan dengannya, sementara Hasbi berjalan di depan kami. Aku kaku, bingung dan rasanya aku jadi sulit mengeluarkan kata-kata di hadapan ukhti Wawa.

"Ukh, kita pesen minum dulu ya." Ucap ukhti Wawa sambil tersenyum ke arahku.

Sementara Hasbi, aku tak tahu apa yang ada di pikirannya. Ia kini juga tengah diam dan sesekali menundukkan pandangannya, ukhti Wawa sama sekali tak merasa canggung. Bahkan ia yang sedari tadi terus mengajakku berbicara. tak pernah kusangka jika dalam bulan ini aku mendapatkan kejutan yang tak terduga seperti ini, Hasbi datang bersama istrinya. Lalu, dimana Umar. Ingin rasanya aku bertanya, tapi rasa canggung ku melunturkan semua nya. Bayi tampan itu, sebenarnya aku juga ingin bertemu dengannya. Tiba-tiba Suasana menjadi hening, tak ada satu pun dari kami yang berani membuka obrolan.

"Hanun, maaf sudah membuatmu bingung seperti ini." Ucap Hasbi yang akhirnya membuka suara.

"Kenapa? Kenapa kamu datang sekarang, dan kenapa kamu membawa ukhti Wawa ke hadapanku? Bukankah aku sudah menolakmu hari itu ketika kamu menemui Abah."

"Aku sudah meminta izin pada umi untuk menikahimu. Tapi aku sama sekali tidak tahu jika umi sudah mengenalmu dan sudah berteman denganmu, karna aku sendiri pun belum memberitahu tentang identitasmu sebelum datang kesini."

"Dan kamu ukh. Kamu menyetujuinya? Sebegitu mendukungnya kah kamu hingga kamu sendiri yang mengantarkan suami mu untuk menikah denganku." Ucapku

"Benar. Saya mendukungnya." Jawab ukhti Wawa singkat.

         Aku masih sulit mempercayai nya, bagaimana bisa rasa cemburu itu ia abaikan. Dan lagi, aku juga memikirkan perasaan Abah dan umi. Bagaimana perasaan mereka jika putri kesayangannya ini menjadi istri kedua, mereka yang sudah membesarkan ku dengan kasih sayang yang utuh. Memberikan semua yang terbaik, menyekolahkanku dengan fasilitas dan biaya yang tak sedikit. Mengutamakanku dalam berbagai hal hingga aku merasa tak pernah kekuarangan perhatian dan kasih sayang dari mereka, wajar saja jika perihal jodoh putrinya. Mereka juga menginginkan yang terbaik, menantu yang mampu menjaga Muru'ah putrinya.
      Lantas jika aku mengambil keputusan untuk menerima Hasbi, umi dan Abah pasti kecewa. lalu bagaimana aku mengatasi dan meredam perasaan yang terus membuatku tersiksa ini. Jika bukan dengan menerima dan hidup berdampingan dengannya. Ataukah mungkin aku memang harus membiarkan diriku hidup satu atap dengannya, dan juga dengan satu hati lainnya.

HanunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang