#22 : Akad

313 8 0
                                    

وَزَكَرِيَّآ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥ رَبِّ لَا تَذَرْنِى فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْوَٰرِثِينَ

Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: "Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.
(Q.S Al Anbiya:89)


"De ayo mari masuk."

Deg..
Rasanya pipiku seperti terbakar, dan jantungku terpompa dengan lebih cepat. Saat panggilan "dek" yang keluar dari mulutnya membuatku jadi salah tingkah. Selama ini Hasbi tak pernah memanggilku seperti itu, beberapa hari yang lalu sebelum Hasbi kembali ke tempat asalnya bersama umi. Dengan hati yang jauh lebih tenang, aku memutuskan untuk menerima lamarannya. Lamaran yang sempat aku tolak sebelumnya, baju pengantin berwarna putih dengan riasan natural yang selama ini kubayangkan dan ku inginkan akhirnya benar kukenakan. Kukenakan pada hari akad, hari dimana Hasbi menjabat tangan Abah.

Aku keluar dari kamarku didampingi oleh umi Walidah, ia yang sesekali menarik dan membetulkan bagian belakang baju ku ketika aku sedang berjalan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku keluar dari kamarku didampingi oleh umi Walidah, ia yang sesekali menarik dan membetulkan bagian belakang baju ku ketika aku sedang berjalan. Ia terus saja membisikkan ke telingaku , memintaku agar aku tenang dan rilex saja. Mungkin karna ia tahu betul bagaimana rasanya ketika seorang pria menyebut namanya dihadapan ayahnya serta para saksi untuk Mengucap janji suci. Ia seperti mengulang kembali masa-masa itu, masa dimana ia yang duduk disebelah Hasbi dengan tegangnya tepat setelah Hasbi menyelesaikan akad pada saat itu. Kini, akad itu terjadi lagi. Tak kusangka umi begitu berbesar hati untuk memberikan izin agar Hasbi bisa menikah denganku.
Aku melihat sosok umi yang begitu tenang dan tegar. Ia pandai sekali menyembunyikan rasa, mungkinkah perasaan cemburu nya telah menjelma jadi keikhlasan yang membuatnya tenang saat ini.
Tiba-tiba saja aku merasa bersalah, merasa bersalah pada sosok wanita lembut yang sedari tadi menatap ku dengan muka teduh nya itu. Suara nya terdengar diantara tamu undangan, mengaminkan doa yang dibacakan selepas akad. Kini aku benar-benar ada di antara mereka. Diantara mereka yang sebelumnya sudah hidup dengan tentram, lalu aku datang mengusik ketentraman itu. Sekali lagi aku memposisikan diriku sebagai wanita serakah, yang sebenarnya tak rela jika cinta suamiku dibagi pada wanita lain. Andai saja aku ada di posisi umi, aku mungkin akan membutuhkan waktu lama untuk bisa tersenyum dan menerima keadaan serta kedatangan wanita lain dalam rumah tangga kami.

HanunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang