17. Sikap Duniawi

91 15 102
                                    



Hai! Happy Sunday!

Tugas yang udah selesai dikumpulin dulu. Bacanya pas santai aja, jangan pas tiba-tiba dipanggil emak lu buat ngambil cabe misalnya:"

Eh tapi nggak apa-apa, kalo justru nih chapter revisian dibikin sandaran abis capek nugas:>

Anyway,

Happy Reading!

___________________________________________

Sudah pukul sepuluh lewat limabelas menit. Teramat larut, dan tak ada sebaris kabar dari suaminya. Rara hanya mampu menggigit bibirnya, cemas. Semenjak anaknya menemukan benda eksplisit di bagian belakang mobil, ibu muda itu tak bisa henti memikirkannya.

Mungkin salah satu dampak, menjadi psikiater handal dan juga mantan anggota teater di masa sekolah. Ekspresinya selalu bisa menutup kekhawatirannya, hingga tidak kentara.

Dan kebetulan sekali, seorang Erwin Pranaja itu sibuk. Teramat sibuk, pulang malampun langsung terganggu oleh panggilan Rumah Sakit. Entah itu pasien korban kecelakaan, kebakaran, operasi karena kondisi kritis, dan sebagainya.

Tak percuma pula, Rara menunggu hingga larut. Sehabis menidurkan anak-anaknya, membacakan cerita atau bernyanyi kecil, pintu rumah itu terbuka. Menampilkan sang kepala keluarga yang bermandikan peluh. Lihat saja wajahnya, lunglai dan lesu.

Ingin menanyakan perihal benda eksplisit, nahas terlintas perasaan iba. Suaminya itu, terlihat sangat lelah.

"Selamat malam, mas Erwin" sapa Rara, dengan suara selembut kain satin. Ia membantu membawakan tas ransel beratnya, dibawakan ke meja kerja. Jangan khawatir, meski tak dibalas dengan sepatah kata, Erwin sudah mencium kening istrinya itu.

"Maaf, belum sempat kasih kabar" ujar Erwin pelan. Dia menyandarkan punggung bidangnya di sandaran sofa, diikuti oleh istrinya.

"Nggak apa-apa. Oh, udah kurebusin air buat mandi" ujar Rara sambil bersedekap dada. Erwin hanya mengangguk, perlahan memejamkan mata. Rara memang tersenyum, tetapi sepasang netra itu tidak mampu mengelabui.

Pandangannya mendongak ke atas, dengan senyum simpul. Dari samping, Erwin melirik istri semata wayangnya itu. Lantas sang suami bertanya, "Kenapa, dek? Kaya mikir sesuatu,"

Rara merogoh saku celana panjangnya, mengambil pengait bra yang ditemukan anaknya. Sebenarnya, sepasang benda itu sudah disimpan olehnya sendiri. Cukup lama, tapi Rara belum sempat memberitahu. Kepala keluarga ini sangat sibuk, kawan.

Beliau pulang, untuk mandi sebentar lalu lanjut mengecek catatan visum pasiennya. Kalau tidak, sudah terkapar dan pergi ke alam mimpi mendahului sang puan. Ada juga kondisi, dimana Erwin mendapat telepon bahwa pasien mengalami masa kritis—sehingga harus pergi ke Rumah Sakit lagi.

Ah, seringnya berakhir tidak pulang.

"Beberapa waktu lalu, anak-anak nemuin ini. Bisa jelasin, mas?" Sorot mata Rara sangat lembut, walau suaranya lugas. Ia juga tetap bisa tersenyum, walau tahu akan kecewa.

"Duh dek. Mas baru pulang kerja, pertanyaanmu aneh. Kamu pikir, mas ini cowok apaan?" Erwin langsung beranjak dari sofa, seakan kepalanya bertambah pening mendengar pertanyaan itu. Sempat kaget, nyaris marah juga.

Dan Rara sudah menduganya.

Rara hanya tersenyum miris. Ibu muda itu bertutur, "Adek harap, mas bisa jelasin suatu hari nanti. Selamat malam, tuan"

***

Jakarta, 07.00 AM

Tangan sederhana itu menutup pintu dengan ringan. Matanya masih mengamati panel password yang memiliki layar sidik jari itu. Seperti ada yang mengawasi, pikirnya. Namun, gadis itu membuang napasnya keras—berusaha tidak peduli.

LOVE REWIND [WenYeol] √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang