Prolog

1.1K 359 230
                                    

"Nduk, apa kamu yakin ... kalau kamu mau ke Jakarta?" tanya wanita tua yang tak lain adalah Neneknya yang bernama Ainah.

"Yakin, Mbah. Dunga'no aku sukses ning Jakarta, yo," jawab Anandita sembari memasukkan barang-barangnya ke dalam koper.

(Doain aku sukses di Jakarta, ya.)

"Iyo, nduk. Mbah pasti dunga'no sing apik kanggo awakmu. Mugo-mugo awakmu lancar kuliah'e, iso sukses."

(Iya, Nak. Mbah pasti doakan yang baik buat kamu. Semoga kamu lancar kuliahnya, bisa sukses.)

"Amin. Matur suwun, Mbah."

(Makasih.)

Setelah Anandita siap dengan segala keperluan dan perlengkapannya, ia segera bangkit dari duduknya kemudian berpamitan kepada Ainah.

"Mbah, Dita pamit dulu, ya."

"Iya, hati-hati. Barangnya udah lengkap semua, kan?"

"Udah kok, Mbah."

"Alhamdulillah kalau gitu. Yasudah kamu langsung berangkat, ya. Takutnya ketinggalan bus."

"Iya, Mbah. Mbah jaga kesehatan, ya. Nanti kalau Dita sudah libur, Dita pasti balik kesini."

"Iyo, Nduk. Kamu juga disana jaga kesehatan, ya. Terus semangat belajarnya. Jangan khawatirkan Mbah. InsyaAllah Mbah disini baik-baik aja."

Anandita mengangguk mengerti. "Iya, Mbah. Yaudah kalau gitu, Dita berangkat, ya, Mbah. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Anandita mulai melangkah pergi meninggalkan orang yang selama ini merawat dan memberikan seluruh kasih sayangnya itu seorang diri di kampung demi melanjutkan pendidikannya. Sebenarnya, ia tidak sanggup jika harus meninggalkan wanita kesayangannya itu disana, tapi mau bagaimana lagi, mau tidak mau ia harus tetap pergi meninggalkannya.

Anandita berangkat ke Jakarta dengan mengendarai bus, karna uang yang dia bawa tidak banyak. Sebab uang yang ia gunakan adalah uang tabungan hasil dia memenangkan lomba selama dua tahun terakhir.

Keesokan harinya, Anandita telah sampai di Jakarta dan dia dijemput oleh supir pribadi Pamannya. Ya, Pamannya adalah orang sangat kaya dan dikenal banyak orang di wilayah Ibukota. Jadi, tidak heran jika Anandita di jemput oleh supir pribadi Pamannya.

"Mba Anandita?" tanya seorang lelaki yang memakai pakaian rapi dengan setelan ala supir seperti yang pernah ia lihat di televisi.

"Iya, Pak," jawab Dita, lalu tersenyum.

"Mari Mba," ucap lelaki tersebut seraya mempersilahkan Dita masuk ke dalam mobil dan duduk dikursi penumpang.

"Perkenalkan nama saya Bambang, Mba. Supir pribadi Pak Ihsan." Bambang memperkenalkan dirinya ditengah perjalanan menuju rumah Ihsan.

Dita yang sejak tadi menatap bangunan yang menjulang tinggi dari dalam mobil itupun akhirnya menoleh kearah Bambang. "Saya Anandita, Mas."

Mendengar jawaban Anandita, Bambang tersenyum tipis."Gimana perjalanannya, Mba."

"Alhamdulillah lancar-lancar aja, Mas."

"Alhamdulillah."

Mata Anandita menyorot ke arah bangunan yang menjulang tinggi di sepanjang perjalanan. Ini pertama kalinya bagi Anandita melihat langsung keindahan kota Jakarta. Sebab selama ini, ia hanya mendengarnya dari Paman dan teman-temannya yang pernah berlibur ke kota Jakarta.

Saat sampai di halaman rumah Ihsan, mata Anandita langsung menatap takjub dengan kemewahan rumah yang Ihsan tinggali. Ia tidak menyangka jika Ihsan mempunyai rumah seperti ini.

"Ini beneran rumah Paman saya, Mas?" tanya Anandita tak percaya

"Iya, Mba." jawab Bambang, kemudian ia keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Anandita.

Dita melangkahkan kakinya keluar dari mobil, lalu berjalan memasuki rumah besar dan mewah itu dengan ragu.

"Assalamualaikum." salam Anandita kemudian matanya menjelajahi setiap sudut ruangan yang hanya di hiasi oleh barang-barang mewah.

"Waalaikumussalam." sahut Andini, istri Ihsan. "Eh, Dita udah sampai." Andini langsung memeluk Anandita.

"Iya, Bukle." ucap Anandita seraya membalas pelukan Andini.

"Ayo sini duduk dulu." Andini mengajak Anandita untuk duduk di ruang tamu.

"Iya, Bukle." ucap Anandita, kemudian mengikuti ajakan Andini untuk duduk di kursi.

"Bentar, ya. Bukle bikinin minum dulu."

"Gak usah repot-repot, Bukle."

"Gak repot kok, Ta. Lagian 'kan cuma bikin minum aja, gak bikin sumur."

Anandita terkekeh pelan mendengar ucapan dari Andini. "Yaudah, iya."

Andini berjalan ke dapur dan meninggalkan Dita yang masih menatap takjub dengan keindahan rumah Ihsan. Tak lama kemudian, Andini kembali dengan membawa minuman dan makanan ringan untuk Dita.

"Nih, ayo di makan, Ta." ucap Andini, kemudian menaruh nampan tersebut di atas meja.

"Makasih, Bukle." balas Dita, lalu mulai meminum teh hangat yang di bawa Andini.

"Gimana perjalanannya?"

"Alhamdulillah lancar, Bukle."

"Mbah apa kabar, Ta?"

"Alhamdulillah Mbah sehat-sehat saja, Bukle."

"Alhamdulillah. Bukle kangen banget sama Mbah, udah lama gak ketemu. Habisnya Pakle kamu itu kalau kesana gak ngajak Bukle."

Anandita hanya tersenyum tipis, ia baru menyadari kalau setahun terakhir ini Pamannya datang ke kampung tidak bersama Andini.

"Bukle apa kabar?"

"Seperti yang kamu lihat, Ta. Bukle baik."

"Alhamdulillah. Pakle mana?"

"Masih di kantor, paling nanti malam baru pulang."

"Oh."

"Kamu mau langsung istirahat?" tanya Andini yang sepertinya tau kalau Anandita lelah, kemudian di balas anggukan ragu oleh Anandita.

"Ayo Bukle antar ke kamar kamu." ajak Andini dan diikuti oleh Anandita.

Segitu aja yaa prolog nya 😊
Semoga suka sama ceritanya.

Kamu, Sekejap Mata ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang