48

65 18 7
                                    

Dita memasuki rumahnya begitu saja tanpa mengucap salam, kemudian ia berlari menuju kamarnya dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia tidak perduli dengan tatapan yang ditunjukkan oleh Andini dan juga Erlangga sewaktu ia melewati ruang tamu tadi.

Dibalik pintu, ia mendongakkan kepalanya keatas dan menangis sepuas hatinya hingga suara isak tangis pun kini sudah memenuhi kamarnya. Dadanya terasa sesak jika terus mengingat hal menyakitkan yang di sebabkan oleh ulah kekasihnya. Angga begitu tega dan tak berperasaan, Angga tak lebih dari seorang lelaki pengecut yang hanya bisa memainkan hati wanita sesuka hatinya. Jika saja waktu bisa diulang, maka ia tak akan pernah mau atau sudi bertemu dengan Angga apalagi menaruh perasaan kepadanya.

Ia memeluk kakinya dengan erat, guna menyalurkan tenaga yang tersisa untuk menguatkan dirinya sendiri.

"Hiks, hiks." Dita menangis sesenggukan, bahkan matanya kini sudah bengkak akibat menangis berlebihan. Wajahnya pun kini sudah memerah karena terbawa hawa panas yang menyelimuti hati dan pikirannya.

Ia mengacak rambutnya dengan kasar, merasa bodoh dengan pilihan yang dia ambil. Jika saja dulu ia tidak mengenal Angga dan menyukainya, mungkin saja hal ini tidak akan terjadi.

"Dita," panggil Erlangga dari luar sembari mengetuk pintu kamarnya.

"De," panggil Erlangga lagi dengan lembut.

"Kamu gak papa kan?" tanya Erlangga karena khawatir dengan keadaan Dita.

"Dita butuh waktu sendiri, Kak. Dita minta Kakak jangan ganggu Dita dulu, ya," sahut Dita dengan lembut dari dalam kamarnya dan masih di barengi dengan suara isak tangis yang tak dapat ia bungkam.

Erlangga terdiam, ia benar-benar tidak mengetahui apa yang terjadi kepada Adiknya. Perasaan sedih juga mulai Erlangga rasakan saat mendengar isak tangis Dita yang menurutnya menyiratkan kepedihan yang mendalam dan itu belum pernah Erlangga dengar sebelumnya.

Otak Erlangga mulai berpikir, kemudian ia melangkah pergi untuk menghampiri Bambang dan menanyakan kepergian Dita sebelumnya agar ia dapat mengetahui penyebab Dita menangis. Sebab, hanya Bambang saja yang selalu berada di pos yang terletak di halaman rumahnya. Maka dari itu, pasti hanya Bambanglah yang mengetahui kemana perginya Dita.

"Mas?"

"Iya?"

"Mau nanya, Mas tau gak Dita dari mana?"

"Oh, itu. Mba Dita dari rumah Mas Angga, Mas. Kebetulan saya sendiri yang mengantar Mba Dita."

"Oh, gitu. Tapi, kenapa Dita bisa nangis gitu, ya? Mas tau gak penyebabnya apa?"

"Wah kalau itu saya kurang tau, Mas. Tapi saya sempat liat waktu di depan rumah Mas Angga itu Mba Dita terlihat marah betul sama Mas Angga, kaya lagi berantem gitu."

"Em, yaudah kalau gitu. Makasih, ya, Mas."

"Iya, Mas. Sama-sama,"

***
Selepas kejadian tadi pagi, Angga tidak bisa membuang pikirannya tentang Dita. Ia begitu bodoh karena membiarkan Mona menciumnya begitu saja seakan kenangan itu kembali mereka rasakan seperti sewaktu SMA. Angga juga pasif, ia sama sekali tidak mendatangi Dita dan memberikan penjelasan dikarenakan takut akan ucapan Dita yang menyuruhnya untuk tidak perlu menemuinya lagi. Perasaan sedih dan bersalah pun bersatu di dalam hati Angga, membuatnya semakin bingung harus bagaimana.

Di tempat lain, ada Dita yang sedari tadi duduk di jendela sambil memandang langit malam yang gelap namun menenangkan. Sepulang dari rumah Angga sampai saat ini, ia masih mengurung diri di dalam kamarnya dan menyendiri untuk menenangkan hatinya.

Hembusan Angin malam yang membawa hawa dingin dan di balut oleh keheningan malam, membuat Dita kembali menangis saat bayangan peristiwa yang baru di alaminya tadi hadir tanpa seizinnya. Sungguh sangat tidak sopan sebab akhirnya ia kembali di selimuti rasa pedih yang mendalam sampai tanpa ia sadari Erlangga telah berhasil masuk ke dalam kamarnya yang ternyata tidak terkunci.

Suara pintu tertutup menyadarkan Dita untuk menghapus air mata beningnya dan beralih untuk melihat seseorang yang baru saja datang. Setelah tau yang datang adalah Erlangga, ia kembali membuang tatapannya ke arah langit karena tidak ingin terlihat sedih dihadapan Erlangga.

Erlangga berjongkok di hadapan Dita, menatap wajah murung Adiknya itu dengan lekat. Ternyata benar, begitu nyata kepedihan itu tergambar di wajah Dita.

"Dita," panggil Erlangga dengan lembut sembari memegang sebelah tangan Dita. Tak bisa dipungkiri, air mata Dita kembali menetes ketika suara Erlangga berhasil menyentuh hatinya yang sakit.

"Kalau kamu mau cerita, Kakak siap kok jadi pendengarnya," tambah Erlangga yang benar-benar membuat Dita langsung memeluknya dengan erat dan menenggelamkan wajahnya di bahu kekar Erlangga sambil menangis hingga sesenggukan.

Tangan kekar Erlangga tergerak untuk membalas pelukannya seraya mengelus punggung Dita untuk menguatkannya. Ia tau kalau saat ini Dita membutuhkan pelukan, agar beban yang ada dalam dirinya bisa sedikit berkurang.

"Salah Dita apa, Kak. Salah Dita apa? Kenapa Angga jahat sama Dita? Kenapa dia bikin Dita kecewa? Kenapa Angga tega buat Dita berpikir kalau Angga bener-bener sayang sama Dita? Kenapa, Kak? Kenapa? Hiks hiks,"

"Dita tau kalau yang memulai semua ini adalah Dita. Tapi apa Angga perlu giniin Dita kalau dia gak beneran sayang sama Dita? Emangnya dia gak berpikir apa? Gimana sakitnya perasaan Dita saat liat dia ciuman sama Mona di hadapan Dita?"

Angga melepas pelukannya dan menatap wajah Dita yang masih dibanjiri air mata. "Ciuman?" beo Erlangga

Dita mengangguk lesu. "Iya, Kak. Angga jahat banget 'kan, Kak, sama Dita? Dita aja gak pernah khianatin Angga begitu. Tapi kenapa dia khianatin Dita? Dita salah, ya, Kak, karna suka sama Angga? Iya?"

Dita menatap Erlangga seperti memohon. "Kak, Dita gak mau ketemu sama Angga. Dita gak mau ketemu sama dia lagi. Dia jahat, Kak. Dia jahat! Hiks hiks."

Erlangga mengelus kepala Dita dan kembali memeluknya. Mendengar penjelasan Dita, membuatnya ikut merasakan sakit seperti yang Dita rasakan. Dita benar-benar mencintai Angga, namun Angga malah bersikap sebaliknya.

"Dita, ini sudah menjadi pelajaran buat kamu untuk tidak mencintai seseorang yang belum tentu punya perasaan yang sama seperti kamu. Dari Angga kita belajar, kalau semua yang kita inginkan belum tentu baik buat kita. Kamu jangan sedih, ya, Kakak akan selalu ada di sini buat kamu."

Dita melepaskan pelukannya, memandang wajah Erlangga dengan lekat. Ia beruntung mempunyai saudara seperti Erlangga yang selalu bisa menenangkan suasana.

"Angga juga bilang kalau dia selalu ada buat Dita, tapi apa? Akhirnya dia pergi ninggalin Dita."

"Itu kan Angga, bukan Kakak."

"Kakak gak ninggalin Dita kan?"

"Enggak,"

"Bener?"

"Iya,"

"Promise?"

"I'm promise, Dear,"

Dita kembali memeluk Erlangga untuk menghapus kesedihannya. "Dita sayang sama Kakak,"

"Kakak juga sayang sama Dita,"

Huaaaaa😭😭
Gimana perasaan kalian kalau diginiin?
Angga bener-bener ngeselin yaaa...

Buat kalian yang setia baca cerita ini, aku mau kasih tau kalau cerita ini bentar lagi bakalan End😊

Makasih ya udah mau baca cerita ini dan makasih juga buat pembaca setia aku❤❤ secara tidak langsung, kalian mendukung karya aku.

Jangan lupa tinggalin vote dan komentar kalian di cerita ini yaaaaa

Jangan lupa juga follow akun wp dan instagram aku

Wp : @SalmaNidha
Ig : @salmanida__

Kamu, Sekejap Mata ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang