Kembali utuh

2.3K 137 25
                                    

Iqbal POV

Ilham menepati janjinya, dia mengantarku ke tempat yang tenang, sesuai dengan rekomendasi dari bag Iqbal. Tak hanya itu, dia juga menetapi persyaratan ku, dia sama sekali tidak berbicara selama kami disana, bahkan aku merasa kasihan dengannya yang tak bisa dan tak tahu harus melakukan apa. Tentu akan bosan kalau hanya scroll ke atas scroll ke bawah hp saja, tapi mau bagaimana lagi, aku juga harus fokus untuk menyusun naskah terbaikku. Tak akan ada kesempatan yang sama lagi di lain waktu. Aku menjalani hati seperti itu selama seminggu, terkadang Ibu datang menelpon untuk kebanyakan kabar. Di satu sisi, aku belum mulai bicara dengan bunda, bukan karena aku marah tapi aku memberikan waktu untuk Bunda agar bisa menerima keadaan. Aku juga belum sempat menjenguk ayah di penjara.

"Terima kasih." Ucap Ilham saat kami berada di kafe pinggir kota.

Aku menatapnya tajam, tak ingin konsentrasi ku buyar, terlebih ini adalah hari terakhir aku menyusun. Sebenarnya sudah selesai, hanya saja aku harus mengecek ulang agar tidak banyak kesalahan.

"Bukan maksud mengganggu, tapi jujur aku penasaran dengan apa yang kamu ketik. Terlebih kau mengabaikanku disini, padahal aku selalu menemani. Kamu marah sama aku?" Tanya Ilham tak nyaman.

Aku sedikit terkejut saat Ilham menggunakan aku-kanu terhadapku, biasanya lo-gue.

"Diam dan makan saja." Ucapku yang kembali fokus ke laptop.

"Tapi aku kurang,,, " Ucap Ilham terpotong.

"DIAM." Bentakku tiba-tiba.

Semua yg ada disitu langsung menatap kami dengan tajam, seolah ketenangan mereka masing-masing terusik. Aku sangat malu dengan itu, tapi di satu sisi, Ilham langsung menunduk ketakutan. Aku sebenarnya tidak bermaksud membentak atau membuatnya takut, tapi harusnya dia tahu dengan keadaan mainnya. Aku pun melanjutkan kegiatan ku agar malam ini juga harus dikirim ke penerbit.

###

"Kenapa tidak bilang sama ayah?" Tanya pak Rajasa saat aku dan Ilham baru pulang dari tempat aku menyusun cerita.

"Ayah menanyakan hal yang mana?" Tanyaku sopan,

Aku sebenarnya tahu arah pembicaraan pak Rajasa, tapi aku tidak mau mendahului.

"Tentang kafe, Anis dan Ayahmu." Ucap pak Rajasa.

"Untuk kafe dan Anis, itu sudah menjadi masa lalu yah, untuk ayah yang sedang di penjara, ijinkan saya yang tetap mencari cara." Jawabku sopan.

"Apa kau marah ke Bunda dan Ayah gara-gara Anis? " Tanya bu Rajasa.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan tu, geli rasanya saat dituduh marah seperti ni.

"Awalnya Ibal memang marah, tapi bukan kepada Ayah, Bunda, ataupun Anis. Ibal marah sama Tuhan karena telah menciptakan takdir yang sangat runyam. Tapi yah, Ibal sekarang sadar. Tuhan tidak membuat takdir yang se-runyam seperti yang ada di pikiran Ibal, pasti ada satu titik balik saat kita berada di titik terendah atau tertinggi." Ucapku tenang,

Pak Rajasa dan istrinya hanya terdiam, mencoba mencerna apa yang aku katakan. Tak lama kemudian, pak Rajasa tersenyum.

"Lalu apa Anis di matamu?" Tanya pak Rajasa.

"Anis tetap sahabat saya, meski dia tidak menganggap seperti itu." Jawabku.

"Sekedar sahabat saja? Tidak lebih? Maksudnya kau tidak memiliki rasa pada Anis?" Tanya pak Rajasa berturut-turut.

"Yah, kalau memang Ibal punya perasaan ke Anis. Pasti udah pacaran dari dulu, tapi sayangnya Ibal gk punya perasaan seperti itu." Ucapku berhati-hati.

Gara-gara Ilham (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang