Badai Mulai Menghampiri

3.8K 190 7
                                    

Pemberitahuan
1. Sejak awal cerita ini memang tidak punya gambar/foto tokoh. Sekalipun hanya sebagai perumpamaan, saya tidak mau mengambil foto orang lain.

2. Penulis hanyalah pemula

3. Penulis tidak menerbitkan tulisan di tempat lain.

4. Jangan lupa Vote dan Comment ya

5. Kisahnya di ketik di hp jadi kalau ada banyak typo, Mohon Maaf yang sebesar-besarnya.

####

Iqbal POV

Kehidupanku berjalan seperti biasa, hanya saja semakin sibuk sekarang. Kafe memang sepenuhnya kami berdua yang kelola tapi bukan hanya kami berdua yang menghandle semua keperluan kafe. Sekarang kami memperkerjakan tiga orang barista, kasir dan beberapa orang waiter/waitress. Termasuk salah satu di antaranya adalah Adel, salah satu siswa tidak mampu di sekolah. Sebenarnya dia yang mendatangi kami dan setelah melihat skillnya kami pun menerima. Tidak serta-merta di terima, meski begitu. Kami sedikit memberi perhatian padanya, namun itu semua tidak membuat karyawan lainnya cemburu, karena memang gaji mereka jauh lebih tinggi di banding Adel. Tapi kami menanggung semua keperluan sekolah Adel,termasuk untuk print tugas-tugas dan biaya buku. Sedangkan biaya SPP, dia bayar sendiri menggunakan gajinya. Beberapa kali kami bertemu dengan orang tua Adel, mereka berterima kasih pada kami yang begitu perhatian pada Adel. Sebenarnya kami tidak berniat begitu, kami membantu hanya dengan niat membantunya. Kebetulan Adel bukanlah siswa yang sembarangan, dia menjadi juara kelas meski belum mampu bersaing dengan aku dan Anis untuk memperebutkan juara sekolah.

"Semuanya, itu gaji kalian di tambah bonus masing-masing tapi maaf ya bonusnya Ndak banyak." Ucapku sopan.

Mereka semua tahu bahwa kafe ini milikku dan Anis tapi aku sudah mewanti-wanti mereka untuk tidak memberitahukan orang lain.

"Mas Iqbal Ki loh, masih aja bilang begitu padahal kan kita udah dapat gaji 2 kali lipat dari UMR di tambah bonusnya setara UMR, jadi 3 kali lipat deh gaji kami." Ucap Mbak Santi, salah satu waitres kami.

"Ya kami berdua takut aja mbak, kan tiap orang beda-beda kebutuhannya" Timpal Anis.

"Ini udah lebih dari cukup kok bagi kami semua, tapi mungkin ndak bagi Adel, kan Adel sedikit gajinya" ucap bang Fadil, salah satu barista sambil melirik Adel.

"Kalau buat Adel sih udah lebih dari cukup, apalagi kerjanya Adel kan cuma siang ke malam aja" Jawab Adel malu.

Kami semua tertawa melihat tingkah Adel. Ya beginilah keadaan kafe, semua yang kami bangun dengan kekeluargaan, jadi semua yang disini seperti keluarga sendiri. Kalau ada salah satu yang mempunyai masalah, kami semua berusaha menyelesaikan bersama namun tidak bermaksud mencampuri urusan orang lain. Aku dan Anis pun tidak menganggap diri sebagai bos, kami juga bekerja seperti karyawan lainnya. Aku tetap berurusan dengan dapur sedangkan Anis berurusan dengan uang. Terkadang sebelum pulang ke rumah masing-masing, kami mengadakan makan malam bersama di kafe. Seperti sekarang, aku berjalan bersama ke halte bus untuk menunggu bus yang ke arah rumah masing-masing.

"Di depan ada apaan ya? Kok banyak polisi" ucap Adel

Kami semua melihat ke arah yang ditunjuk Adel,

"Perlu kesana?" Tanyaku ragu.

"Ayok" Jawab mereka serentak.

Ada ragu saat aku harus memutuskan kesana atau tidak, tapi aku yakin karena tidak sendirian.

"Ada apa ya pak?" Tanya Anis pelan.

"Kami lagi menangkap sekelompok pengguna dan pengedar narkoba" Jawab petugas polisi.

Gara-gara Ilham (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang