matahari seribu warna

614 64 2
                                    

~(Matanya lekat memandangi Newt. Memerhatikan angin sepoi-sepoi yang menghapus keringat di wajahnya.)~

.

.

.


Newt adalah kilau emas yang disepuh dari cahaya murni.

Semenjak malam kedatangannya di Glade, saat pandangan pertama mereka di sekitar api unggun, Thomas diam-diam mencatat fakta itu untuk dirinya.

Kemudian ketika ia mencari-cari apakah ada materi atau senyawa apapun yang dapat diasosiasikan dengan Newt-nya, atau cocok menjadi representasi dirinya, ia menemukan warna-warna yang hangat dan cerah.

Dan Thomas mencetuskan ide itu pada suatu siang ketika matahari terik menyiram pemukiman mereka di pantai. Saat melihat Newt berdiri di tengah-tengah padang bunga matahari, ia tertegun pada cara pemuda itu berkilau seperti semua cahaya terkumpul dalam dirinya.

Thomas menemukannya lagi.

Newt adalah bunga matahari.

Jadi ketika kemudian ia berlari tak peduli kakinya menendang kerikil dan menginjak-injak dedaunan kering. Ia mempercepat langkah hingga menjatuhkan keranjang makan siang mereka di hadapan Newt.

Newt, dengan setangkai semak liar yang baru dipotong oleh gunting di tangan kanannya. Mengernyitkan dahi, heran. "Tommy? Ada apa?"

Thomas megap-megap mengatur nafas.

Matanya lekat memandangi Newt. Memerhatikan angin sepoi-sepoi yang menghapus keringat di wajahnya, tetapi angin itu lebih magis ketika mengaduk rambut pirang dan membuatnya berantakan. Dan ia lebih menyukai bagaimana cara angin itu meniup tangkai bunga yang bergulir di belakang Newt, membuat ilusi latar serupa efek blur yang membaur. Kuning cerah, emas yang indah.

Dan kalimat itu meluncur tanpa bisa ia tahan, "Will you marry me?"

Thomas tidak paham darimana keberanian itu berasal.

Tapi baiklah, ia memang sudah memikirkan ini sejak jauh hari. Menyiapkan mental selama lebih dari sepuluh malam demi bisa mengucap kalimat ini tanpa membuat jantungnya berhenti berdetak.

Rasanya hampir mustahil saat menyadari, ternyata semudah itu? Ia hanya butuh menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.

Thomas mengeluarkan sesuatu dari saku celananya yang kotor. Selongsong bundar yang lebih mirip besi dibanding cincin sungguhan. Benda itu ditemukan di antara tumpukan benda logam di gudang desa. Sudah digosok dan dibersihkan hingga mengkilap seperti baru. Seharusnya ini cukup.

Ia buru-buru mengangkat cincin itu dengan jarinya, tetapi kemudian sadar oleh ekspresi terperangah yang terpasang di wajah Newt.

"Apa katamu?" Newt mendesis.

Suaranya terdengar bergetar. Mulutnya menganga dan mata berkilat oleh rasa tidak percaya.

Newt berusaha mencerna hingga tampaknya ia sadar bahwa Thomas serius dalam ucapannya. "Aku tak salah dengar kan?"

Thomas mengangkat cincin lebih dekat. Mengangguk. "Ya. Newt. Itu benar. Aku ingin kau menikah denganku."

Thomas merasakan rona merah naik di pipi, tetapi ia tak peduli. Tidak ada yang lebih baik dari ini; sesuatu seperti lelehan gula atau mentega cair yang berlinang dalam hati.

Ia lebih peduli pada keberaniannya sendiri. Membawa langkah kaki mendekat, lalu berlutut di depan Newt.

"Maukah kau..." Suaranya adalah harapan yang disertai keraguan.

Segera ketika Newt mengulurkan tangan, Thomas tak membuang waktu segera memasangkan cincin besi itu di jari manisnya.

Newt masih ternganga, mengangkat tangan di mana cincin itu bertengger manis di jari. Detik berikutnya ketika Thomas kembali berdiri, dengan seluruh kegembiraan bertalu-talu seperti detak jantung di rongga dadanya, Newt menerjangnya tanpa ampun.

Kekeh tawa Newt terkubur di dadanya. "Astaga, Tommy. Ya. Sudah ratusan kali adegan ini tergambar di kepalaku."

*

"Hei, Tommy?"

Thomas tersadar dari lamunan ketika Newt melambaikan tangan di depan wajahnya. Ia senang mengulangi setiap adegan manis yang pernah mereka punya, ketika ia mencium cincin di jari Newt dengan bunga matahari itu sebagai saksinya.

"Ya, Newt?"

Thomas mencuri pandang pada cincin yang terpasang di jari manis Newt. Cincin itu sudah diganti dengan cincin lain dari hari pernikahan mereka.

Newt menodongkan benda persegi seukuran telapak tangan dan Thomas menangkap benda itu saat membentur dadanya.

Si pirang menyeringai. "Itu kameramu. Katamu kemarin ingin kamera?"

Thomas mengerjap. Baru menyadari benda di tangannya adalah kamera. "Wow. Ini sangat bagus. Dapat darimana?"

"Berterima kasihlah pada Minho." Newt menjawab.

Thomas mengamati kamera analog yang kemungkinan berasal dari barang bekas yang direparasi. Ia mengutak-atik tombol mencari tahu cara menggunakannya. Rasanya ia pernah memegang benda ini.

"Ayo, Newt. Kita keluar."

Newt mengangkat alis tetapi tetap mengikuti ketika Thomas menarik tangannya. Mereka berjalan menuruni tangga kabin kemudian berhenti di pekarangan belakang. Itu adalah area yang cukup luas untuk berkebun dan bercocok tanam. Mereka bersama memprakarsai ide ini. Tanaman bunga matahari di sini masih berupa tunas, baru beberapa bulan benihnya berpindah dari padang bunga utama.

Padang bunga utama yang mereka kembangkan sebelumnya, yang merupakan tempat Thomas melamar Newt itu, terletak di sebelah tenggara desa, dekat ke arah ladang.

Thomas membuat instruksi dan Newt menurut. Berdiri dengan pose diatur sedemikian rupa, menyesuaikan dengan angle kamera.

Newt berdiri di depan jajaran tangkai tunas matahari. Di tangannya ada setangkai bunga matahari yang lain.

Kemudian Thomas berjalan mundur, mengangkat kamera dan mengambil beberapa jepretan. Tersenyum puas begitu selesai.

"Ke sini, Tommy." Newt melambaikan tangan. "Kau tak ingin mengambil foto berdua?"

Thomas menaikkan alis. "Sebentar. Mungkin kita bisa mencari bantuan."

Lima menit kemudian setelah Thomas berhasil membawa Aris di pekarangan rumahnya. Ia bergabung dengan Newt. Mengambil tangannya. Mereka berdiri sejajar dengan senyum lebar di atas setangkai bunga matahari.

Aris mengambil beberapa jepretan. Beberapa kali mereka berdua sengaja membuat berbagai pose dan bergerak dengan ritme tertentu setiap jeda pengambilan gambar.

Newt sempat menekan kecupan ringan di pipi Thomas.

Thomas meraih dagu Newt lalu menekan bibir di dahinya, melabuhkan kecupan lembut.

Menyadari erangan setengah kesal Aris yang disuarakan sebagai bentuk protes menyaksikan api kemesraan yang diumbar itu, mereka tertawa lepas.

"Tidak apa-apa. Lanjutkan, Bung," kata Aris akhirnya.

"Seberapa besar rasa sukamu pada bunga matahari?" Newt bertanya. Jari jemari mereka terjalin di sekitar tangkai bunga.

"Sebesar rasa sukaku padamu. Tetapi aku menyukai bunga ini sebagai definisi mandiri yang melengkapi keberadaanmu."

Wajah Newt memerah ketika ia terkekeh bahagia. "Sedikit peningkatan cara merayu ya, Tommy?"

Thomas kembali menekan ciuman di dahi. "Aku hanya merayumu kok."

Saat Newt melempar senyum termanisnya, itu adalah semua emas yang meleleh; semua kehangatan cahaya yang tumpah, menggenangi kolam hatinya hingga terisi penuh.

Semua Bintang di Langitmu | NewtmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang