Chapter 26

819 121 57
                                    

Entah berapa lama Jeongyeon menatap pigura itu, ia sendiri tidak tahu. Ia hanya menatap kosong pigura yang terletak di meja kerja milik Ayahnya sambil berusaha menjernihkan hati dan pikirannya bak untaian benang kusut yang membingungkan.

Kalau dipikir lagi, waktu bergulir dengan cepat. Bahkan perayaan natal tahun ini saja sudah berakhir sejak tiga hari yang lalu. Dan pernikahannya bagaikan bunga tidur bagi Jeongyeon.

Jeongyeon begitu sibuk dengan pikirannya hingga ia tidak menyadari Appa-nya sudah masuk ke ruangan itu. Appa-nya mendekat ke meja kerja dan menatap putri bungsunya yang tidak kunjung sadar dari lamunannya. Pria paruh baya itu mengerti kenapa istrinya kerap merasa khawatir dengan Jeongyeon.

"Jeongyeon-ah, sedang memikirkan apa?"

Gadis itu mengerjap pelan sebelum menoleh ke arah kirinya. "Sejak kapan Appa disini?"

Appa Jeongyeon hanya mengusap puncak kepala putrinya lalu duduk bersandar di sofa yang terletak di tengah ruang kerjanya. Guratan lelah terlihat di wajahnya yang selalu menampilkan senyum yang sangat Jeongyeon sukai. "Sepertinya masalahmu sangat banyak sampai-sampai tidak tahu kalau Appa sudah datang."

Jeongyeon terdiam, tidak langsung menjawab. Ia tidak ingin membebani pikiran Appa-nya dengan masalahnya sendiri. "Aku baik-baik saja, Appa. Tidak ada masalah yang berarti."

"Yakin?"

"Sungguh, Appa." Jeongyeon mengaggukkan kepalanya. "Ngomong-ngomong, Appa, kafe panekuk yang baru buka di perempatan jalan ini terlihat bagus."

Appa Jeongyeon terkekeh pelan. Kalau sudah berbicara tentang makanan, putri bungsunya ini benar-benar terlihat sekali senangnya. "Appa sudah pernah kesana. Tempatnya bagus dan menu yang tersedia juga enak."

"Ah. Benarkah, Appa?"

"Appa yakin kau pasti menyukainya."

Ada jeda beberapa saat setelah percakapan pendek tersebut. Appa Jeongyeon tampak memejamkan mata dengan kepala yang disenderkan di sofa. Beristirahat sebentar sebelum kembali masuk ke dapur untuk memasak pesanan orang yang datang. Sedangkan Jeongyeon kembali mengamati pigura yang berisi potret pernikahannya dengan Taehyung.

~~~

Taehyung menaiki anak tangga menuju lantai dua tempat ruang kerja Appa Jeongyeon berada. Pramusaji yang ada dilantai pertama menyarankannya untuk bertemu koki utama sekaligus pemilik restoran ini di lantai dua. Lelaki itu berdeham beberapa kali sebelum mengetuk pintu kayu yang ada didepannya.

Tidak ada yang menyahut dari dalam ruangan tersebut. Mungkin Appa Jeongyeon sedang sibuk. Taehyung segera membalikkan badan dan berniat kembali pulang. Namun, Appa Jeongyeon yang berjalan menuju ke arahnya dari arah berlawanan membuatnya mengurungkan niat tersebut.

"Taehyung-ah, sedang apa disini?"

Nah, itu dia. Kenapa dia ada disini? Taehyung sendiri bingung menjawab pertanyaan tersebut. Di rumah Jeongyeon tidak ada siapa-siapa sejak jam sebelas siang tadi. Eomma Jeongyeon pergi dengan tetangganya, Seungyeon dan Kangjoon pergi entah kemana, bahkan Jeongyeon meninggalkannya juga.

Taehyung sedikit tergagap. "Hm..Abeonim. Apa Jeongyeon ada disini?"

"Oh, tadi Jeongyeon memang kesini tetapi sudah pergi. Bukankah dia seharusnya ada di rumah sekarang ini?"

"Jeongyeon belum pulang, Abeonim. Ponselnya bahkan tidak aktif. Karena itu aku pergi mencarinya kesini."

Appa Jeongyeon tersenyum lebar mendengarnya. Menantunya benar-benar peduli terhadap putrinya dan ia bersyukur atas itu. "Mungkin dia sedang pergi ke suatu tempat. Apa dia tidak ada memberitahumu?"

Taehyung menggelengkan kepalanya. Pria paruh baya tersebut kemudian mengajak Taehyung untuk sekadar berbincang dengannya di ruang kerja sebelum menghentikan langkahnya begitu mencapai kenop pintu tersebut. "Oh, sepertinya Jeongyeon pergi ke kafe panekuk yang baru buka di ujung perempatan jalan ini. Kau bisa memastikannya kesana."

Tidak butuh waktu lama bagi Taehyung untuk meng-iyakan saran Appa Jeongyeon. Ia berusaha mempercepat langkahnya menuju halte bus. Ada yang salah dengan dirinya. Perasaan menggebu-gebu itu semakin nyata.

'Aku menyayangimu, Tae.'

Sial. Dasar bodoh.

~~~

Cangkir teh mint dan sepiring sweet original pancake yang berada di atas meja nyaris tidak disentuh. Gadis yang duduk dihadapan hidangan tersebut lebih memilih melihat orang-orang dalam balutan jaket tebal beraneka warna yang berseliweran diluar kafe. Pemandangan yang biasa namun disukai oleh Jeongyeon.

Derit kursi yang digeser dan ketukan halus di mejanya membuat gadis itu mengalihkan pandangan. Jeongyeon menatap sejenak seseorang yang baru saja mengganggunya sebelum kembali membuang muka. Huh, kenapa dia ada disini? Sungguh menjengkelkan...

"Kenapa nomor ponselmu tidak aktif? Aku sudah mencoba menghubungimu sejak satu jam yang lalu."

Jeongyeon mengabaikan pemuda dihadapannya, Kim Taehyung.

Setelah beberapa saat menunggu yang tak kunjung dijawab, Taehyung mendesah dan melanjutkan, "Ayo pulang. Sebentar lagi hari gelap dan sudah waktunya jam makan malam."

Taehyung menatap jengah terhadap gadis yang selalu mendiamkannya. Ia tidak habis pikir kenapa Jeongyeon masih saja enggan menatap apalagi berbicara dengannya. Semarah itukah Jeongyeon karena ia mengikutinya ke Suwon dan tidak memberikan surat itu padanya? Padahal Taehyung sudah mengatakan yang sejujurnya pada Jeongyeon kalau ia serius dengan ucapannya tempo hari.

"Ayo pulang. Kau bisa sakit jika terlalu lama di luar saat cuaca dingin seperti ini."

Jeongyeon mendesah kesal. Ia bangkit dari kursi, mengenakan mantelnya, lalu berjalan cepat ke arah pintu keluar kafe. Taehyung yang melihatnya hanya dapat kembali mendesah.

"Jeongyeon-ah, kau masih marah padaku?" tanya Taehyung yang masih berusaha menyamakan langkah kakinya dengan gadis itu. "Kenapa kau masih marah padaku? Aku sudah meminta maaf padamu. Dan ucapanku tempo hari, aku serius mengatakannya padamu."

Taehyung memperlebar langkah kakinya untuk menyusul Jeongyeon. Bukan hal yang sulit untuk dilakukan karena sekarang ia sudah berada tepat dihadapan gadis itu. "Aku tidak ingin berpisah denganmu. Beri aku kesempatan."

"Apa kau gila?"

"Nde. Aku selalu merasa kacau sejak jantungku berdebar lebih cepat hanya karena mengingatmu ataupun menatapmu," ujar Taehyung menatap gadis itu lurus-lurus. "Aku juga tidak tahu kapan hal itu pertama kali terjadi."

Taehyung bisa merasakan kekagetan dimata gadis itu. Ia sendiri juga merasakan hal yang sama. Entah karena apa, lelaki itu mendapat keberanian mengatakan hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Apa karena ia benar-benar takut kehilangan Jeongyeon? Untuk beberapa detik berikutnya, mereka berdua terdiam.

"Saranghae, Jeongyeon-ah."

Jeongyeon membalikkan badan dan berjalan menjauhi Taehyung. Gila. Lelaki itu benar-benar gila. Butir-butir salju mulai turun mengenai puncak kepala Jeongyeon namun gadis itu terus melangkah tanpa tahu kemana tujuannya.

Lagi dan lagi. Taehyung kembali mengejar gadis tersebut. "Kau mau kemana? Kau tidak percaya padaku?"

Tanpa menunggu jawaban Jeongyeon, ia meraih sebelah tangan Jeongyeon dan diletakkan di dadanya. "Kau bisa merasakan debar jantungku?" tanya Taehyung pelan. Matanya menatap dalam ke arah Jeongyeon yang sedang berkaca-kaca. "Aku tidak berbohong padamu. Kau bisa merasakan jantungku yang berdebar keras?"

Jeongyeon terlalu kaget untuk bereaksi. Napasnya tertahan dan tangannya gemetar dalam genggaman hangat Taehyung merasakan debar jantung lelaki tersebut.

"Ini karena dirimu."

~~~

Terimakasih sudah membaca, vote, dan juga comment...

Maaf karena terlalu lama untuk melanjutkan ff ini dan semoga tidak pernah bosan dengan ff-ku:))

I Fancy You^^

See You in the Next Chapter...

Our SecretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang