Basket

28 8 0
                                        

"Fahri tangkep!" Kak Ilham melemparkan bola basket ke arah dada Fahri.

Fahri menangkapnya dengan sigap. Kak Ilham menggeleng kagum. "Bagus, Ri. Gak salah kamu masuk tim basket." Kak Ilham berjalan mendekat. "Kami di sini menaruh harapan yang besar ke kamu. Bahkan kakak mau nyalonin kamu buat jadi kandidat ketua klub basket tahun ini."

Fahri menganga tak percaya. "Hah? Gak ah kak... Gak mau..." Tolak Fahri.

"Loh kenapa?" Kak Ilham terkekeh. "Biasanya kamu semangat kalau ditunjuk jadi ketua tim juga."

Fahri menggeleng. "Kalau ketua eskul mah beda lagi kak."

Kak Ilham menyentuh pundak Fahri. "Yaudah. Kakak gak mau maksa. Kamu pikirin lagi aja. Sayang loh kesempatan." Kak Ilham pun berjalan menjauh, membiarkan Fahri mematung.

Bukan tanpa sebab, ia masih belum yakin untuk melanjutkan langkahnya di klub basket. Semakin hari, hatinya semakin memprotes jika dia mencoba meyakinkan diri sendiri untuk bertahan di eskul ini. Fahri menghela nafas dan duduk di pinggir lapangan. Ia melirik teman-teman seklubnya yang sedang sibuk bermain.

Fahri memantul-mantulkan bola pelan di tangannya. Ia menatap ke lapangan yang luas. Anak paskibra baru saja membubarkan barisan. Mata Fahri menyipit ke sisi kanan lapangan, beberapa meter jauh dari tempat duduknya.

Hamzah dan Sukainah berjalan melintasi lapangan dengan beriringan, keduanya tampak menjaga jarak. Hamzah tampak terus berceloteh, Sukainah mengangguk-ngangguk seperti setuju dengan sesuatu.

Dada Fahri sesak menatap adegan di depannya. Hamzah dengan peci hitam dan syal rohisnya, bersama Sukainah di sisinya, memeluk buku tebal dan memakai syal sepertinya. Mereka berdua tampak akrab.

Fahri mengepalkan tangan, keringat di kepalanya semakin mengucur. Ia pun berdiri melemparkan bola ke sembarang arah lalu pergi dari lapangan.

Beberapa temannya menatap heran, namun Fahri tak peduli. Toh latihan telah usai, dan ia sudah malas ikut penutupan. Ia berjalan di koridor dan dadanya kembali bergemuruh. Hamzah dan Sukainah berada di sana, kini berbincang berhadapan di sisi lorong, sebelah tubuh mereka bersandar ke tembok di sebelahnya.

Fahri memelankan langkahnya, matanya menyorot tajam ke tatapan Hamzah yang menatap Sukainah dengan terkagum-kagum. Fahri bisa berasumsi bahwa Hamzah sedang memuji kecantikan gadis itu.

Perut Fahri tiba-tiba mulas, pemandangan di depannya membuatnya kesal setengah mati.  Ia harus berbuat sesuatu. Fahri semakin dekat dengan mereka berdua.

"Jaga pandangan, akhi..." Sindir Fahri tanpa menoleh kepada Hamzah ketika melewatinya. Lelaki itu tak terdengar bersuara lagi. Fahri berjalan menjauh entah akan kemana.

Hamzah tersenyum kepada Sukainah, merasa malu. "Jadi gimana?" Hamzah mengalihkan pembicaraan. Sukainah pun melanjutkan pembahasannya tentang proposal perlombaan Islam.

Hamzah menelan ludah beberapa kali. Fahri rupanya menangkap sorot matanya kepada Sukainah. Seketika Hamzah merasa tak enak kepada gadis itu karena ia pasti mendengar apa yang Fahri lontarkan tadi. Hamzah memutar badan, memilih untuk menyamping agar pandangannya tidak selalu menghadap Sukainah.

Hamzah sesekali menoleh ke kanan, menatap koridor, berharap Fahri kembali ke hadapannya dan terlihat baik-baik saja.

Namun Fahri tak kembali sampai pulang sekolah. Hamzah mencarinya ke semua sudut dan ia yakin Fahri masih ada di sekitar sini, karena tasnya masih tersimpan di dalam kelas.

Pencarian Hamzah membuahkan hasil. Rupanya Fahri sedang melamun di bawah pohon di taman belakang sekolah.

Hamzah menjadi ragu untuk mendekat, karena ekspresi Fahri sedang tidak ingin diganggu. Ketika Hamzah hendak menyingkir, Fahri sudah terlebih dahulu menatapnya.

"Apa Zah?" Tanya Fahri. Suaranya tak ramah.

Hamzah pun memantapkan hati untuk menghampirinya. "Kamu dicariin dari tadi. Udah makan belum?"

Fahri membuang muka, basa-basi Hamzah menunjukkan bahwa dia tampak sedikit bersalah dengan kejadian tadi.

Hamzah duduk di sebelah Fahri, ia membuka pecinya dan menyodorkan air mineral. "Aku perhatiin dari pagi kamu lagi ada pikiran. Nih minum dulu." Namun Fahri menggeleng. "Jangan ngelamun begini atuh. Cerita."

Fahri bergeming. Sebenarnya, ia ingin sekali Hamzah mengetahui soal kegundahannya memilih eskul. Ia yakin Hamzah pasti akan memberikan solusi terbaik. Tapi, mengingat soal tadi, Fahri jadi urung menceritakan masalahnya kepada Hamzah. Hamzah seketika membuatnya kesal.

"Semenjak pelantikan muka kamu ketus waé. Ada sesuatu di eskul?" Tanya Hamzah simpati. Fahri ingin sekali membuka mulutnya, menjawab pertanyaan Hamzah dengan sejuta ceritanya. Tentang kebingungannya melanjutkan perjalanan di basket atau pindah ke rohis dan mendapatkan kedamaian itu. Terlebih lagi, melihat Hamzah yang semakin dekat dengan Sukainah membuatnya semakin mantap untuk pindah eskul. Mereka berdua tidak boleh dibiarkan semakin dekat. Fahri sudah menaruh hati kepada gadis itu terlebih dahulu!

"Bingung," satu kata terlontar dari mulut Fahri.

"Bingung kunaon?" Tanya Hamzah, nadanya berubah serius.

"Bingung," ulang Fahri. "Aku téh pengen banget jadi atlet basket."

"Terus?"

"Tapi pengen eskul rohis." Ucap Fahri to the point. Seperti dugaan Fahri, Hamzah terkejut mendengarnya.

Hamzah menghadapkan tubuhnya kepada Fahri sepenuhnya. "Serius, Ri?!" Tanyanya girang.

Fahri membuang nafas, belum mau menatap Hamzah. "Iya. Tapi hayang ogé di klub basket. Kasian Kak Ilham udah naruh harapan ke aku. Aku gak mau ngecewain pengurus."

Hamzah mengangguk paham. "Ngerti."

"Tapi aku juga mau jadi anak masjid!" Seru Fahri, kini menoleh kepada Hamzah. Mata Fahri tampak berbinar, membayangkan hal indah--dan Sukainah, yang akan didapatkannya. "Urang kudu kumaha ayeuna?"

Hamzah berpikir lalu berdeham. "Aku gak bisa kasih solusi."

Fahri mendengus. Hamzah buru-buru menambahkan, "Bukan gitu maksudnya. Sekarang aku cuman bisa ngasih saran aja."

"Iya apaa?" Tanya Fahri tak sabar.

"Coba istikharah," kata Hamzah. Fahri sering dengar kata 'istikharah'. Tapi ia tak tahu betul apa maksudnya.

"Istikharah? Bukannya shalat yang minta hujan itu?" Tanya Fahri kebingungan.

Hamzah memukul pelan lengan Fahri. "Lain! Istisqa itu mah!"

Fahri mengernyit. "Lah? Bukannya istigosah ya?"

"Itu mah doa bersama, Ri!" Seru Hamzah menahan tawa.

"Terus kalo istirohah apa?"

"Istirahat itu mah. Kalo Istighfar tahu kan?" Tanya Hamzah.

"Tahu atuh!" Jawab Fahri mantap. "Kalo istiqomah apa atuh artinya?"

"Teguh pendirian," jawab Hamzah.

"Ohh hehe," kekeh Fahri, malu karena ternyata ilmu agamanya sedangkal itu.

"Istikharah itu shalat minta jawaban di antara dua pilihan, Ri.  Misalnya kamu sekarang lagi bingung pengen eskul basket atau rohis. Nah tanya aja sama Allah langsung lewat shalat istikharah. Pasti jawabannya yang terbaik," jelas Hamzah.

"Ohhh tahu tahu! Yang shalat kalau orang mau nikah téa bukan?" Tanya Fahri meyakinkan.

Hamzah tertawa. "Bukan cuman buat nikah aja. Tapi shalat istikharah berlaku buat semuanya."

Fahri mengangguk paham. "Ada waktu tertentu gak buat ngelaksanainnya?"

"Gak ada, Ri. Bebas mau kapan aja. Cuman kalau kamu mau lebih cepet dikabul, coba setiap beres shalat fardu. Lumayan 5 kali sehari. Eh, 3 kali sehari deh. Soalnya udah subuh sama ashar gak boleh shalat sunah," jawab Hamzah. Fahri tersenyum puas mendengarnya.

Ternyata, mencari solusi dari kegundahannya selama ini begitu mudah. Hanya saja, ia tak sadar.

"Makasih Zah udah ngasih saran," ucap Fahri, kekesalannya kepada Hamzah hilang seketika.

Hamzah mengangguk. "Kalau niatnya baik pasti dikasih jalan."

HABIBTY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang