Tangga

31 10 0
                                    


Fahri tak habis pikir, mengapa selama ini ia bisa begitu berprasangka buruk kepada Aldan dan Sukainah. Ia tidak pernah mengira bahwa mereka memang satu darah. Fahri bahkan tak sempat meminta maaf karena ia begitu terkejut dengan pernyataan Aldan. Dan nyatanya, Hamzah telah mengetahui soal ini.

Fahri kini mengusap kepalanya gusar. Fahri merenung bahwa akhir-akhir ini ia memang bersikap menyebalkan kepada Aldan. Ia harus meminta maaf!

"Ri, aku mau nanya nomor 5 caranya gimana?" Aldan menyodorkan buku tugas bahasa inggris kepada Fahri.

Fahri hanya menatap tak acuh buku dihadapannya. "Oh itu.. kok kamu nanya sih kan pasti udah tahu jawabannya." Bukan tanpa alasan Fahri berkata seperti itu. Karena ia yakin Aldan hanya mengada-ada untuk menguji kemampuan Fahri dalam bahasa Inggris.

Aldan menggeser bukunya menjauh dari Fahri. "Aku beneran gak tahu."

Fahri hanya mengangkat bahu dan terus mengisi jawabannya. Aldan membuang nafas dan memilih untuk bertanya kepada Hamzah yang sedang mengajari Farhan di bangkunya.

Fahri menutup wajah, tak percaya dengan sikapnya yang begitu senewen. Padahal Aldan belum tentu hendak menyaingi Hamzah, maupun menguji kemampuan Fahri. Mungkin saja Aldan hanya ingin meningkatkan kinerjanya di kelas, bukan serta merta mencari muka dihadapan para guru.

Fahri menengadahkan kepala, tidak peduli dengan anak kelas 11 yang melewatinya di tangga.

"Ri, mau ke ruang guru?" Aldan berlari menghampiri Fahri yang sedang memakai earphone sepulang sekolah. Fahri mempercepat langkahnya, pura-pura tidak mendengar padahal ia tidak sedang mendengarkan lagu apa pun di telinganya.

"Kalau ke ruang guru aku nitip ini," ucap Aldan yang sudah sampai di sebelah Fahri dan membawa setumpuk buku catatan yang hendak dikumpulkan.

"Aku mau ke koperasi," jawab Fahri, seolah menolak permintaan Aldan.

"Ya kan ke koperasi lewat ruang guru. Biar sekalian, Ri. Aku udah ditunggu Pak Akbar di perpus," kata Aldan, ia tampak dikejar sesuatu.

"Nah itu ke Nicko aja!" Fahri menunjuk Nicko yang kebetulan baru saja lewat di sebelah mereka.

"Iya?" Sahut Nicko dibalik kacamata bulat tebalnya.

"Maaf ya Dan keburu gak ada ojek," ujar Fahri dan pergi dari hadapan Aldan.

Aldan pun meminta tolong kepada Nicko yang langsung menerima tumpukan buku itu. Ia menatap punggung Fahri yang menjauh, berpikir apakah ia telah membuat kesalahan kepada Fahri.

Fahri pun turun dari tangga setelah selama setengah jam merenungkan sikapnya yang agak senewen kepada Aldan akhir-akhir ini.

"Hufftt... Harus sering-sering istighfar ini mah," gumam Fahri sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Fahri menuruni tangga perlahan, menyiapkan diri bagaimana agar tidak terlalu malu di depan Aldan ketika meminta maaf nanti.

Fahri memang menganggap Aldan sebagai saingannya di kelas. Tetapi, bagaimana pun juga Aldan adalah kakak kandung Sukainah. Itu berarti, jika Fahri ingin mengambil hati Sukainah, ia harus bersikap baik kepada abangnya juga.

Fahri sampai di kelas dan mengedarkan pandangan. Ia tak menemukan Aldan di sana.

"Nyari siapa, Ri?" Tanya Nicko yang sedang menghapus tulisan di papan tulis.

"Aldan mana?" Tanya Fahri di ambang pintu.

Nicko mengangkat bahu. "Tadi mah asa ke masjid."

Fahri mengangguk. "Nuhun." Fahri bergegas menuju masjid dan ia mendapati Aldan dan Hamzah sedang memakai sepatu mereka di teras.

Fahri menelan ludah. Mereka shalat duha bareng ternyata.

"Eh Fahri!" Sapa Hamzah, ia berdiri ketika Fahri mendekat.

Aldan sedang menunduk dan membetulkan tali sepatunya. Jika dilihat-lihat, wajahnya mirip dengan Sukainah.

"Wisnu mana?" Entah mengapa Fahri hanya ingin berpura-pura bertanya hal itu kepada Hamzah.

Hamzah menunjuk segerombolan anak yang ada di lorong kelas 12. "Tuh!"

Fahri menoleh. Rupanya di sanalah Wisnu, bersama sekelompok kakak kelas perempuan dan ia sedang tertawa kencang sekali.

Hamzah menggeleng. "Gak tahu kenapa bisa akrab gitu sama kakak kelas. Wanian."

Tapi Fahri tak terlalu memikirkan hal itu. Aldan sudah selesai dengan sepatunya dan berkata, "Yuk mau ke kantin?" Ajak Aldan kepada Hamzah dan Fahri.

"Yuk Ri ikut!" Timpal Hamzah.

"Uhm aku mau ngobrol sama Aldan bentar," ucap Fahri.

"Oh sok atuh. Aku duluan weh," kata Hamzah dan ia pergi ke kantin terlebih dahulu.

Fahri menatap Aldan canggung. Aldan berdiri di depannya, menunggu Fahri berbicara.

"Dan. Aku mau minta maaf kalau akhir-akhir ini rada pikasebelen--"

"Banget!" Potong Aldan.

Fahri terpaku. "Ya. Pikasebelen banget. Maaf ya Dan."

Aldan mengerutkan dahi, menahan senyum. "Naha jiga nu sieun kitu?"

Fahri menunduk. Anda kakak ipar sayaaaa!

Tetapi Fahri buru-buru menguasai suasana. "Teu, Dan. Hampura weh ieu mah. Urang keur rada sensi," jelas Fahri.

Aldan menepuk bahu Fahri. "Keun, weh. Gapapa."

Fahri membungkuk, "Oh nuhun atuh A."

"A?" Tanya Aldan tak percaya dengan apa yang baru saja Fahri ucapkan.

Fahri terkejut sendiri. "Eh gak maksudnya nuhun, Dan! Hehe." Aldan hanya tertawa menanggapinya. Aldan membuat Fahri merasa baik-baik saja setelahnya. Mereka berdua pun menyusul Hamzah yang sedang menunggu mereka duduk di bangku kantin.

Fahri menyesal kenapa selama ia tidak tahu siapa Aldan sebenarnya. Ah, seandainya waktu bisa diputar.

HABIBTY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang